STRATEGIC ASSESSMENT. Kelompok Houthi dari Yaman melakukan serangan besar-besaran terhadap kapal dagang yang ada di Laut Merah, Selasa malam waktu setempat. Serangan diluncurkan dari dua lokasi yakni Barat Daya Mokha dan Hodeidah, Yaman. Sekitar 50 kapal dagang berada di daerah tersebut pada saat serangan terjadi. Roket serta drone menghujani kapal-kapal yang berlayar.
“Belum ada kapal yang dilaporkan mengalami kerusakan akibat serangan tersebut,” perjelas laporan itu.
Penyerangan juga dilaporkan perusahaan keamanan maritim global Ambrey. Saksi melaporkan melihat tiga kapal kecil dan dua rudal ditembakkan dari arah kapal tersebut.
“Mereka juga dilaporkan melihat drone terbang di depan kapal,” tambah perusahaan itu. Serangan ini dianggap sebagai serangan terbesar Houthi terhadap pelayaran komersial sejak serangan Israel ke Gaza dan dibentuknya Operation Prosperity Guardian oleh AS dan 13 negara sekutunya. Houthi sendiri menyerang kapal-kapal yang diyakininya terkait Israel atau akan menuju ke Negeri Zionis itu.
Houthi menyebut ini sebagai protes serangan ke Gaza yang telah terjadi sejak 7 Oktober hing kini, yang menewaskan 23.000 warga. Milisi yang didukung Iran itu memperingatkan bahwa mereka tidak akan mengurangi jumlah serangan sampai Gaza menerima “makanan dan obat-obatan yang dibutuhkannya”.
Sementara itu, pasukan AS dan koalisinya dilaporkan mengirimkan armada tempurnya mendekati wilayah-wilayah tersebut. Dikatakan pula tidak ada kapal perang Iran yang berada saat serangan terjadi.
“Empat kapal perang koalisi dikerahkan ke wilayah tersebut. Ini adalah serangan terbesar terhadap pelayaran komersial,” bunyi laporan yang sama.
Perlu diketahui serangan Houthi telah menimbulkan efek global. Ini disebabkan strategisnya Timur Tengah di panggung perdagangan global dan menjadi pusat produksi migas dunia.
Beberapa raksasa perkapalan dunia seperti Maersk, Mediterranean Shipping Company (MSC), Ocean Network Express (ONE), Hapag Lloyd, dan Hyundai Merchant Marine (HMM) memilih untuk menghindari perairan Laut Merah, yang mengakomodir 15% perdagangan dunia itu. Mereka memilih untuk memutar ke Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika, meski waktu tempuh bertambah yang juga ikut meningkatkan ongkos pelayaran.
Ini pun akhirnya berdampak pada kenaikan tarif pengiriman. Tarif angkutan barang dari Asia ke Eropa Utara meningkat lebih dari dua kali lipat pada minggu ini menjadi di atas US$ 4.000 (Rp 62 juta) per unit 40 kaki.
Tarif dari Asia hingga Pantai Timur Amerika Utara juga meningkat sebesar 55% menjadi US$ 3,900 (Rp 60 juta) per kontainer berukuran 40 kaki. Harga di Pantai Barat naik 63% menjadi lebih dari US$ 2.700 (Rp 42 juta).
“Tekanan rantai pasokan yang menyebabkan inflasi bersifat ‘sementara’ pada tahun 2022 mungkin akan kembali terjadi jika masalah di Laut Merah dan Samudera Hindia terus berlanjut,” kata Larry Lindsey, kepala eksekutif firma penasihat ekonomi global Lindsey Group, kepada CNBC International.
Di sisi lain, harga minyak juga berpotensi melonjak akibat ketegangan ini. Kepala penelitian minyak Goldman Sachs, Daan Struyven, mengatakan harga minyak dunia dapat melonjak 20% hingga 100% jika konflik ini meluas ke Selat Hormuz.
Diketahui, Selat Hormuz merupakan perairan sempit yang menghubungkan Laut Arab dan Teluk Persia. Jalur pelayaran ini juga merupakan pintu masuk bagi kapal-kapal Iran menuju Samudera Hindia dan ke arah Laut Merah.
“Laut Merah adalah jalur transit dan gangguan berkepanjangan di sana, harga minyak bisa tiga atau empat dolar lebih tinggi,” pungkasnya dikutip Oil Price.
“Namun jika terjadi gangguan di Selat Hormuz selama sebulan, harga (minyak) akan naik sebesar 20% dan bahkan bisa berlipat ganda jika gangguan di sana berlangsung lebih lama,” tambahnya (www.cnbcindonesia.com)