STRATEGIC ASSESSMENT. Pemerintah Amerika Serikat kembali menjual senjata ke Israel tanpa persetujuan kongres. Penjualan senjata ke Israel itu dilakukan menggunakan keputusan darurat.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada Kongres bahwa pemerintah telah membuat keputusan darurat kedua dalam waktu kurang dari sebulan, untuk menjual senjata ke Israel.
Laporan Al Jazeera dari Washington menyebutkan bahwa Israel juga akan membeli proyektil M107 155 mm, yang merupakan peluru artileri yang akan menyebabkan kehancuran luas di wilayah padat penduduk seperti Gaza.
Philippe Lazzarini, kepala Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), mengatakan bahwa pihak berwenang Israel terus memberlakukan “pembatasan ketat” terhadap akses kemanusiaan meskipun ada pengiriman bantuan dari Mesir dan melalui penyeberangan Rafah.
Anggota kabinet perang Israel, Benny Gantz mengatakan, Tel Aviv Israel berusaha meningkatkan intensitas militer di front utara melawan Hizbullah.
Hal itu merujuk pada situasi di perbatasan utara Israel, di mana sejumlah pemukim Yahudi harus mengungsi karena tingginya ancaman milisi perlawanan Lebanon tersebut.
Ancaman Hizbullah ini, kata Gantz, mesti segera di atas. Israel, kata dia, tak mau menunggu lagi mengingat tingkat bahaya yang mengintai.
Sebelumnya, media Israel memberitakan pernyataan ketua Komite Pemukiman Shtula yang menggambarkan situasi permukiman Yahudi di perbatasan dengan Labanon berada di titik nadir gegara serangan bergelombang dari Hizbullah. Kepala staf militer Israel, Herzi Halevi mengatakan: “Kami harus bersiap untuk menyerang jika diperlukan.”
Israel telah meningkatkan agresinya terhadap Lebanon Selatan dengan serangan hampir setiap hari. Baru-baru ini, serangan udara Israel menargetkan kota Bint Jbeil di Lebanon Selatan yang menewaskan tiga warga sipil.
Adapun Hizbullah telah membuat pasukan Israel yang ditempatkan di perbatasan berada dalam keadaan panik. Israel baru-baru ini memperingatkan akan adanya ekspansi ke Lebanon.
Pada 22 Desember, jurnalis Yedioth Ahronoth Israel, Nadav Eyal, mengutip pejabat senior militer, mengatakan kalau “semua perhatian IDF saat ini tertuju ke utara.
Puluhan ribu warga Israel menjadi pengungsi internal akibat perang yang dilancarkan Hizbullah segera setelah Hamas menyerang.”
The Times sebelumnya melaporkan, Israel sedang menyusun rencana untuk menginvasi Lebanon karena tentara Israel takut akan serangan serupa pada 7 Oktober dari Hizbullah.
Rencana dan ancaman invasi ke Lebanon bertentangan dengan permintaan sekutu Israel untuk tidak memperluas perang lebih jauh.
Jenderal pasukan cadangan Israel Yitzhak Brick telah memberikan peringatannya kepada Israel, dengan mengatakan bahwa Israel tidak siap menghadapi Hizbullah.
Namun negara Israel bertekad untuk membuka front Lebanon, di mana Menteri Pertahanan Yoav Gallant baru-baru ini mengatakan bahwa “jika Hizbullah ingin naik satu level, kami akan naik lima level.”
Mesir dipastikan akan melakukan perlawanan ketika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim bahwa zona perbatasan Koridor Philadelphi antara Jalur Gaza dan Mesir harus berada di bawah kendali Israel. “Namun Mesir tidak akan menerima pemberian wilayah itu kepada Israel,” kata Rami Khouri, direktur keterlibatan global di American University of Beirut mengatakan kepada Al Jazeera.
“Mesir bertanggung jawab untuk berpatroli di koridor tersebut, yang dibuat berdasarkan perjanjian perdamaian Mesir-Israel tahun 1979,” kata Khouri. Khouri mengungkapkan, terowongan di bawah koridor menjadikannya “satu-satunya jalan keluar bagi dunia bagi warga Palestina. Rencana tersebut adalah salah satu dari banyak rencana yang diajukan oleh Netanyahu, yang menurut Khouri “terus-menerus melakukan negosiasi” dan “menarik khalayak yang berbeda”.
Namun, kata Khouri yang berbicara kepada Al Jazeera dari Boston, “Saya rasa masyarakat tidak ingin memberi Israel lebih banyak kendali teritorial atas tanah Arab.” “Kami ingin mereka keluar dari tanah Arab dan beralih ke perundingan politik, yang akan memberikan hak penuh kepada Israel dan Palestina, sama seperti Mesir mendapatkan hak penuh ketika mereka berdamai dengan Israel.”
Sebelumnya, Israel harus mengambil kendali penuh atas koridor perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir untuk memastikan “demiliterisasi” wilayah tersebut. Itu diungkapkan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu. Itu bisa memicu perang dengan Mesir yang menguasai perbatasan Rafah.
Dikutip dari The Times of Israel, apartemen persembunyian Yahya Sinwar yang berada di luar Gaza ditemukan oleh Brigade Bersenjata Cadangan ke-14 IDF.
Tempat itu kemudian diselidiki oleh unit teknik tempur elit Yahalom, yang kemudian menemukan terowongan besar.
IDF kemudian menemukan bukti yang signifikan di apartemen itu yang berujung kesimpulan bahwa Sinwar menggunakannya sebagai tempat persembunyian.
Menurut IDF, terowongan itu memiliki kedalaman 20 meter, dan pangkal dari terowongan sepanjang 218 meter, dengan beberapa cabang.
Jalur terorowngan bawah tanah tersebut dilengkapi listrik, sistem penyaringan udara, pipa ledeng, ruang istirahat dan ruang ibadah.
Selain itu, juga ada peralatan lainnya yang bertujuan memungkinkan pemimpin Hamas tetap bersembunyi dalam waktu lama. IDF pun menegaskan, terowongan tersebut kemudian dihancurkan oleh pasukan teknis tempur.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan keinginannya mengontrol zona perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir. Netanyahu juga memperkirakan perang di wilayah Palestina itu masih akan berlangsung berbulan-bulan.
Saat ini, agresi Israel di Gaza memasuki Minggu ke-13. Dalam konferensi pers, Netanyahu memperbarui janjinya untuk memusnahkan Hamas dan memulangkan semua warga Israel yang disandera di Gaza.
Pemerintah Israel mengatakan pihaknya bermaksud menghancurkan Hamas di Gaza dan mendemiliterisasi wilayah itu untuk mencegah terulangnya pembunuhan dan penculikan lintas batas yang terjadi pada 7 Oktober 2023, yang dilakukan oleh kelompok militan Palestina tersebut.
Pasukan penjajah Israel telah memutuskan untuk menarik ribuan tentaranya dari medan pertempuran di Jalur Gaza. Aljazirah melaporkan, berdasarkan pernyataan dari juru bicara IDF Daniel Hagari, panarikan tentara yang berasal dari lima brigade tempur tersebut untuk membantu pemulihan ekonomi domestik di Israel.
Laman Palestina Chronicle menjelaskan, lima brigade yang ditarik yakni brigade cadangan ke-551 dan ke-114 serta tiga brigade pelatihan. Yedioth Ahronoth melaporkan dalam situs berbahasa Inggrisnya bahwa penarikan tentara dengan jumlah sebanyak itu karena tidak diperlukan lagi banyak tentara di Gaza mengingat sebagian misi militer telah dicapai di utara dan tengah Jalur Gaza.
Meski demikian, dari sekitar 17 brigade yang beroperasi di Gaza, empat brigade masih bertempur di bagian utara dan pertempuran di sana masih jauh dari selesai.
Terlebih lagi, pertempuran di Gaza tengah belum melampaui perbatasan timur kamp pengungsi Al-Bureij. Beberapa brigade tentara Israel telah mencoba untuk menyerang kamp tersebut akan tetapi gagal menguasai wilayah yang hanya seluas beberapa kilometer persegi.
Belum ada pertempuran serius yang terjadi di Nuseirat, Maghazi atau Deir Al-Balah, yang terus menjadi sasaran pengeboman dan pembantaian tanpa henti. Meskipun benar bahwa tujuh brigade dilaporkan bertempur di wilayah Khan Younis di selatan, mereka belum mencapai kemajuan militer yang signifikan. Berdasarkan laporan reporter Aljazirah, awal tahun baru pada 1 Januari ini diwarnai pertempuran hebat di Khan Younis.
Tentara Israel memang terkena pukulan telak dalam perang kali ini. Jumlah tentara Israel yang tewas mencapai lebih dari 500 orang sejak serangan 7 Oktober. Kematian tersebut juga ditambah peningkatan jumlah tentara yang terluka. Belum lagi, ratusan kendaraan tempur yang dihancurkan Hamas selama perang.
Bloomberg melaporkan, peningkatan pesat jumlah korban luka di kalangan tentara Israel mengerek “biaya yang tidak terlihat” dalam perang tersebut.
Ketua Organisasi Veteran Penyandang Disabilitas, Edan Kleiman, mengatakan kepada Bloomberg, jumlah korban cedera mungkin akan meningkat menjadi sekitar 20.000 jika tentara yang mengalami trauma dihitung.
Dalam konteks ini, ilmuwan politik Israel dan profesor kebijakan militer publik, Yagil Levy, mengatakan bahwa “Akan ada dampak jangka panjang jika kita melihat banyaknya penyandang disabilitas yang harus direhabilitasi oleh Israel, yang juga dapat menimbulkan masalah ekonomi. sebagai masalah sosial.”
Mantan Kepala Staf Umum tentara pendudukan Israel, Letjen (Purn) Dan Halutz, mengatakan bahwa “Israel” kalah perang melawan Hamas. Halutz yang pernah menjabat sebagai panglima Angkatan Udara Israel ini mengatakan, satu-satunya kemenangan yang bisa diraih adalah mundurnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, seperti dilaporkan kantor berita Lebanon, Al-Mayadeen dikutip Republika di Jakarta.
Koresponden Channel 14 Israel, Yishai Friedman, merilis rekaman percakapannya dengan Halutz di ‘Haifa’ dengan aktivis protes anti-pemerintah, yang terjadi selama perang. Dalam percakapan tersebut, Halutz menyatakan, “Tidak akan ada gambaran kemenangan karena gambar tersebut mencerminkan hilangnya 1.300 nyawa dan 240 tahanan, meskipun mereka telah kembali, dan sekitar 200.000 pengungsi yang gagal kembali ke rumah mereka.”
Halutz melanjutkan dengan menyatakan, “Bagi saya, gambaran kemenangan adalah ketika Perdana Menteri Netanyahu mengundurkan diri.”
Juru bicara militer Israel Daniel Hagari juga mengumumkan ditariknya pasukan cadangan dari Gaza. Menurut data yang diizinkan untuk keluar oleh IDF, sebanyak 506 tentara tewas sejak 7 Oktober dan 172 orang tewas sejak dimulainya perang darat pada 27 Oktober.
Sejak tanggal 7 Oktober, tentara Israel telah melancarkan perang yang menghancurkan di Gaza, yang hingga Ahad telah menyebabkan 22.141 gugur dan 56.451 orang terluka, kerusakan infrastruktur besar-besaran dan bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menurut otoritas Jalur Gaza dan PBB.
Pakar militer Mayor Jenderal Fayez Al-Duwairi mengatakan pada Aljazirah bahwa pengumuman tentara pendudukan untuk menarik lima brigade pasukan yang dikerahkan di Jalur Gaza mencerminkan penurunan peluang untuk mencapai tujuan apa pun yang diumumkan pada awal perang. Perdana Menteri Israel sampai sejauh ini masih bersikeras bahwa tujuan mereka adalah menghancurkan Hamas.
Al-Duwairi mengatakan bahwa mengevaluasi keputusan ini di lapangan memerlukan mengetahui sifat dan ukuran brigade yang akan ditarik dan apakah mereka brigade tempur atau brigade pendukung. Namun, pada saat yang sama dia menekankan bahwa keputusan tersebut memperkuat hipotesis bahwa agresi ke Gaza akan segera berhenti.
Dia menambahkan bahwa penarikan brigade dari perang berarti bahwa pembicaraan Netanyahu tentang melanjutkan perang mungkin berarti melanjutkan pertempuran dengan cara dan kecepatan yang berbeda.
Ia mengatakan bahwa lima brigade setara dengan setidaknya 120.000 personel, namun tidak semuanya petempur. Hal ini karena setiap alat tempur Israel bisa memerlukan hingga sembilan orang untuk dioperasikan.
Iran turut memberikan komentar soal kematian wakil pemimpin Hamas Saleh al-Aruri dalam serangan Israel di Beirut, Lebanon. Teheran menyebut bahwa kematian Aruri akan semakin memicu perlawanan lebih lanjut terhadap Israel. Seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, komentar pihak Iran itu disampaikan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanani, dalam pernyataannya.
Kematian Aruri awalnya dilaporkan oleh sejumlah pejabat keamanan Lebanon yang menyebut wakil pemimpin biro politik Hamas itu tewas dalam serangan drone Israel di area pinggiran selatan Beirut, yang juga diketahui menjadi markas kuat Hizbullah — sekutu Hamas.
Kantor berita Lebanon, National News Agency (NNA), kemudian melaporkan bahwa serangan Israel terhadap sebuah kantor yang digunakan Hamas di Lebanon telah menewaskan sedikitnya tujuh orang dan melukai 11 orang lainnya pada Selasa (2/1) malam waktu setempat.
Laporan NNA menyebut bahwa tiga drone yang membawa muatan peledak menghantam sebuah apartemen yang menjadi tempat Aruri menggelar pertemuan dengan para pejabat lainnya.
Para pejabat Israel menyatakan kecemasannya jika Pengadilan Internasional (ICJ) yang berbasis di Den Haag akan menuntut dan menjatuhkan hukuman ke Israel atas aksi genosida di Gaza.
Menurut laporan surat kabar Israel, Haaretz, seorang ahli hukum senior Israel yang menangani masalah ini dalam beberapa hari terakhir telah memperingatkan para petinggi IDF, termasuk Kepala Staf Herzl Halevi.
Wanti-wanti itu terkait adanya bahaya nyata kalau pengadilan akan mengeluarkan perintah yang menyerukan Israel untuk menghentikan serangannya.
Pakar hukum Israel itu menekankan, Tel Aviv terikat oleh keputusan pengadilan internasional.
Jika ini terjadi, target Israel saat melancarkan Perang Gaza, membasmi gerakan pembebasan Palestina, Hamas, tidak akan tercapai dan harus dihentikan.
Jika agresi militer Israel di Gaza terpaksa dihentikan sementara Hamas dan sel militernya masih aktif, itu artinya secara de facto, Israel telah kalah perang karena tidak berhasil mencapai tujuannya.
Berbeda dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), yang mengadili individu, Peradilan Pidana Internasional menyelesaikan perselisihan hukum antar negara.
Keputusan Pengadilan bersifat “final, mengikat para pihak dalam suatu kasus dan tanpa banding”.
Permohonan hukum ke pengadilan tersebut diajukan oleh Afrika Selatan pada 29 Desember.
Gugatan Afrika Selatan itu menuduh Israel melakukan “penggunaan kekuatan tanpa pandang bulu dan pemindahan paksa penduduk,”.
Gugatan juga menuding tindakan Israel di Jalur Gaza yang terkepung merupakan “kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.”
Prof Eliav Lieblich, pakar hukum internasional di Universitas Tel Aviv, mengatakan kepada Haaretz bahwa gugatan Afrika Selatan harus ditanggapi dengan serius oleh kabinet dan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.