STRATEGIC ASSESSMENT. Pada tanggal 12 Oktober 2023, China merilis Buletin Statistik Perkembangan Kesehatan tahun 2022. Pada bulletin tersebut, selain diumumkan secara resmi bahwa jumlah kelahiran bayi pada tahun 2022 adalah sebesar 9,56 juta jiwa, namun disebutkan juga bahwa pada tahun 2022, 53,9% bayi baru lahir di China adalah merupakan anak kedua atau ketiga dari sebuah pasangan, sedangkan hanya 46,1% yang merupakan bayi pertama. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kurangnya keinginan masyarakat China untuk memiliki anak lebih besar dari yang diperkirakan, namun pemerintah China tampaknya masih belum berdaya dalam menghadapi fakta ini. Yang lebih penting lagi, penurunan jumlah kelahiran yang terus berlanjut akan berdampak luas terhadap pembangunan ekonomi dan sosial China, geopolitik dan ekonomi, dan bahkan struktur kekuatan global China, yang mungkin akibatnya akan melebihi akibat dari dampak epidemi COVID-19.
Sejak tahun 1979, pemerintah China telah menerapkan kebijakan keluarga berencana yang berfokus pada kebijakan satu anak, sehingga mendistorsi tren pertumbuhan populasi secara alami. Sejak lama, kebijakan satu anak telah menyebabkan ketidakseimbangan dalam struktur penduduk China. Meskipun kebijakan ini menciptakan dividen demografis yang membantu pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990an, namun kebijakan ini juga membatasi kemungkinan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Pada tahun 2014 pemerintah China mulai secara bertahap melonggarkan kontrol ketatnya terhadap kesuburan Masyarakat China, dari mulai menerapkan “kebijakan dua anak saja” pada tahun 2014, hingga menerapkan “kebijakan universal dua anak” pada tahun 2016, kemudian menerapkan “kebijakan tiga anak” pada tahun 2021 sampai kemudian mengakui anak-anak yang lahir di luar nikah pada tahun 2022, yang berarti bahwa keluarga berencana telah dibatalkan sepenuhnya. Pada saat yang sama, China juga telah memperkenalkan berbagai kebijakan untuk mendorong persalinan, dan memberikan bantuan keuangan yang digunakan oleh pemerintah di semua tingkatan untuk memberikan insentif dan bantuan yang secara bertahap meningkat dari 15,8 miliar yuan pada tahun 2017 menjadi 27,8 miliar yuan pada tahun 2022. Namun, baik kebijakan liberalisasi maupun dukungan insentif tidak dapat membalikkan penurunan angka kelahiran di China.
Menurut statistik pemerintah China, masih terdapat 17,86 juta bayi baru lahir yang lahir pada tahun 2016. Selanjutnya, Angka tersebut mulai menurun tajam dengan rata-rata angka tahunan sebesar 1,5 juta jiwa, dimana menurut data registrasi ibu hamil pada bulan Mei 2023, jumlah kelahiran tahun 2023 kemungkinan kembali turun menjadi kurang dari 8 juta jiwa. Meskipun masalah penurunan angka kelahiran merupakan hal yang umum terjadi di negara-negara maju, namun penurunan angka kelahiran di China jauh melampaui ekspektasi para ahli dari semua lapisan masyarakat. Hal ini juga berarti bahwa dampak ekonomi dan sosial dari penurunan angka kelahiran mungkin jauh melebihi persiapan psikologis pemerintah dan Masyarakat China.
Sebenarnya, kebijakan liberalisasi persalinan di China bukannya tidak efektif, namun tidak dapat mengatasi masalah secara keseluruhan. Terdapat kecenderungan penurunan keinginan untuk mempunyai anak dari Masyarakat China. Dengan pelonggaran pengendalian kelahiran secara bertahap, maka lebih dari separuh bayi baru yang lahir setelah tahun 2017 adalah anak kedua atau ketiga dalam keluarga. Namun, jumlah kelahiran per rumah tangga mempunyai batas atasnya, setelah mencapai puncaknya yaitu 59,5% (8,717 juta) pada tahun 2019, angka tersebut mulai menurun dengan kecepatan 2% per tahun, dan turun menjadi 53,9% pada tahun 2022 (5,153 juta), yang menunjukkan bahwa manfaat kebijakan dari pelonggaran pengendalian keluarga berencana telah berangsur-angsur hilang. Namun yang lebih penting dicatat adalah terdapat penurunan keinginan untuk memiliki anak.
Alasan masyarakat China untuk tidak ingin punya anak cukup rumit, namun penjelasan sederhananya adalah karena tekanan hidup yang terlalu besar dan merasa kurangnya harapan untuk masa depan. Pakar kependudukan China memperkirakan bahwa rata-rata biaya melahirkan di China adalah 500.000 yuan, yang tidak hanya merupakan biaya tertinggi di dunia, tetapi juga dua kali lipat biaya di negara-negara Nordik. Di sisi lain, selama lockdown di Shanghai pada bulan Mei 2022, ketika pasangan muda menghadapi petugas pencegahan epidemi dari Pemerintah China yang mengancam akan merugikan tiga generasi sebuah keluarga karena tidak mau menuruti persyaratan karantina yang tidak masuk akal, para keluarga muda di China berseru: “Kami adalah generasi terakhir, terima kasih!” Kejadian yang banyak diberitakan ini menunjukkan bahwa selain faktor ekonomi, suasana politik dan sosial juga turut berkontribusi terhadap rendahnya keinginan masyarakat China untuk mempunyai anak. Data relevan lainnya adalah jumlah pencatatan perkawinan secara nasional pada tahun 2022 adalah 683,5 perkawinan, turun 10,6% dari tahun sebelumnya, dan angka perkawinan sebesar 4,8% juga mencapai titik terendah dalam 42 tahun terakhir. Data statistik ini menegaskan bahwa terdapat empat hal yang populer di masyarakat China yaitu tidak jatuh cinta, tidak menikah, tidak membeli rumah, dan tidak memiliki anak, dimana hal tersebut merupakan keluhan sosial yang umum.
Selain kurangnya keinginan untuk mempunyai anak, dampak kesehatan reproduksi terhadap jumlah penduduk yang melahirkan juga semakin meluas. Pada bulan Agustus 2023, Qiao Jie, wakil presiden Universitas Peking dan pakar pengobatan reproduksi China, memperingatkan bahwa jumlah bayi baru lahir pada tahun 2023 turun menjadi antara 7 dan 8 juta, namun, prediksi Qiao Jie terutama didasarkan pada kekhawatiran terhadap kesehatan reproduksi wanita China seperti penilaian infertilitas, bukan hanya karena kondisi ekonomi masyarakat dan keinginan memiliki anak Masyarakat China. Yi Fuxian, pakar populasi China asal Amerika, juga menyebutkan bahwa tingkat infertilitas di masyarakat China telah mencapai 18% pada tahun 2020. Perlu diperhatikan interaksi antara tren kesuburan dan masalah kesehatan reproduksi. Penurunan jumlah kelahiran akan mengurangi sumber daya yang tersedia bagi lembaga kesehatan reproduksi untuk mengadakan penelitian dan memberikan layanan, sehingga memperburuk masalah infertilitas. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak dilaporkan kasus penutupam klinik kebidanan dan ginekologi serta departemen kebidanan rumah sakit di China. Hal ini tidak hanya mencerminkan dampak kurangnya ketersediaan institusi medis, namun juga berarti semakin sulitnya masyarakat yang ingin memiliki anak untuk mendapatkan hak untuk memiliki pelayanan medis yang wajar.
Pada tahun 2023, stagnasi ekonomi China semakin nyata, perilaku konsumsi masyarakat cenderung konservatif, dan kesulitan keuangan pemerintah daerah juga dapat menyebabkan pengurangan berbagai subsidi penitipan anak. Perubahan lingkungan ini selanjutnya dapat mengurangi keinginan orang tua untuk mempunyai anak. Selama kondisi ekonomi dan sosial yang tidak mendukung untuk melahirkan anak belum membaik, maka jumlah kelahiran per tahun kemungkinan akan terus menurun dalam dua hingga tiga tahun ke depan, dan bahkan mungkin turun hingga 6 juta atau lebih rendah lagi.
China masih akan menghadapi gelombang penurunan tajam jumlah kelahiran di masa depan, dan jumlah kelahiran di bawah 6 juta per tahun mungkin menjadi hal yang normal. Tren penyusutan jumlah kelahiran yang dimulai setelah tahun 2016 dan tren penuaan yang terjadi pada saat bersamaan akan memberikan dampak yang semakin luas terhadap sistem perekonomian dan sosial China dalam 30 tahun ke depan. Misalnya, selain pengurangan institusi ginekologi yang disebutkan di atas, jumlah taman kanak-kanak di China telah berkurang sebanyak 5.600 pada tahun 2022, rumah sakit anak, sekolah dasar dan menengah akan mulai menghadapi kontraksi institusi yang akan berlangsung setidaknya selama 10 tahun ke depan. Di bidang ekonomi, sosial dan politik, berbagai efek berantai akan muncul secara bertahap dalam waktu 3 hingga 10 tahun ke depan, dan bahkan secara signifikan mengubah model pembangunan dan kekuatan nasional China secara komprehensif.
Krisis angka kelahiran yang menurun bukan hanya menjadi permasalahan internal China saja, dampaknya juga akan dirasakan oleh negara-negara di dunia. Saat ini, banyak negara telah menyadari bahwa stagnasi ekonomi China dapat menurunkan momentum pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, dan hubungan antara menurunnya angka kelahiran di China dan kemakmuran ekonomi dapat mempersulit China untuk keluar dari kesulitan stagnasi ekonomi. Berbagai negara di dunia juga harus mengevaluasi hubungan ekonomi dan perdagangannya dengan China berdasarkan tren ini.
Di sisi lain, tren rendahnya angka kelahiran yang tidak dapat diubah pasti akan menjadi kendala dalam upaya China untuk mencapai peremajaan besar bangsa China. Dengan mengambil contoh pembangunan angkatan bersenjata, Xi Jinping telah menetapkan tujuan untuk memodernisasi pertahanan nasional dan angkatan bersenjata China pada tahun 2035 dan membangun angkatan bersenjata kelas dunia pada tahun 2050. Namun, penyusutan populasi generasi muda secara keseluruhan membuat kecil kemungkinan China akan mampu mencapai tujuan tersebut. Tentara Pembebasan Rakyat China akan mempertahankan jumlah 2 juta orang saat ini, dan kemungkinan besar akan tertinggal dari militer AS dalam hal jumlah personel dan kualitas pelatihan. Dalam hal ini, dalam beberapa tahun terakhir, China juga telah berupaya meringankan dampak penurunan angka kelahiran dengan merekrut pensiunan personel militer dan pelajar di bidang teknologi tinggi dengan merevisi peraturan wajib militernya, namun, tingkat penurunan angka kelahiran yang memburuk dengan cepat mungkin menyebabkan jumlah perekrutan akan melebihi angka yang ditetapkan. Selain itu, menurunnya angka kelahiran tidak hanya berdampak pada sumber pasukan, namun dampak kompleksnya terhadap pembangunan sosial dan ekonomi secara keseluruhan juga akan mempengaruhi sumber daya yang dapat diinvestasikan oleh pemerintah China dalam pembangunan militer. Menghadapi tantangan-tantangan ini, masih terdapat keraguan apakah Tentara Pembebasan Rakyat China dapat mencapai tujuan Xi Jinping untuk membangun militer yang kuat sesuai jadwal dengan meningkatkan tingkat teknologi dan tingkat pelatihannya.
Dengan kata lain, bagi Xi Jinping, selain faktor ekonomi dan sosial yang ada, tren penurunan angka kelahiran juga dapat menjadi peluang bagi China untuk merealisasikan niat ekspansi strategisnya saat ini dan dapat melancarkan kampanye militer sebelum kekuatan nasional menurun. Dalam hal ini, negara-negara di dunia harus memberikan perhatian yang lebih cermat terhadap cara para pemimpin China menilai dan menanggapi krisis angka kelahiran yang rendah dari perspektif strategis, dan mempersiapkan pilihan-pilihan strategis yang mungkin akan diambil.