STRATEGIC ASSESSMENT. Majelis Umum PBB memperbarui resolusinya yang menuntut Israel menarik diri dari Dataran Tinggi Golan di Suriah. Resolusi tersebut diperbarui dengan 91 suara mendukung, delapan menentang dan 62 abstain. Resolusi tersebut mengatakan, “Negara-negara anggota PBB sangat prihatin Israel tidak menarik diri dari Golan Suriah, yang telah diduduki sejak tahun 1967, bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum yang relevan.”
Dokumen tersebut juga menekankan, “Ilegalitas pembangunan permukiman Israel dan aktivitas lainnya di Golan Suriah yang diduduki sejak tahun 1967.” Pada tahun 1967, selama Perang Enam Hari, Israel menduduki Dataran Tinggi Golan, wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari Suriah.
Pasca-perang, Israel secara de facto mengendalikan wilayah tersebut dan kemudian secara resmi mengumumkan penaklukannya pada tahun 1981. Namun, tindakan ini tidak diakui komunitas internasional. PBB dengan jelas menyatakan pendudukan Israel atas Dataran Tinggi Golan adalah ilegal.
Pada tahun 1967, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 242 dan 338 yang menuntut penarikan Israel dari wilayah yang didudukinya selama Perang Enam Hari, termasuk Dataran Tinggi Golan. Resolusi ini menekankan prinsip landasan hukum teritorial dan integritas wilayah negara-negara di Timur Tengah.
Kesaksian seorang tentara Zionis menguatkan indikasi bahwa militer Israel yang menembaki warga sipilnya sendiri selama serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober lalu. Tindakan militer Zionis itu diklaim berdasarkan “Protokol Hannibal”. Dalam sebuah laporan yang disiarkan Channel 12 News Israel, seorang letnan dua dari unit tank Israel yang diidentifikasi sebagai Michal berbicara tentang pengalamannya dalam mengejar militan Hamas selama operasi 7 Oktober.
“Kami sampai di pintu masuk kompleks (Hulit) dan pintu gerbangnya ditutup. Seorang tentara mendatangi saya, agak ketakutan, dan berkata, ‘Teroris sudah masuk sekarang’. Kami memasuki kompleks, mendobrak gerbang dengan tank, dan mengikuti arahan yang ditunjukkan oleh tentara tersebut,” katanya.
“Kemudian tentara itu mengatakan kepada saya, ‘Tembakan di sana. Teroris ada di sana’. Saya bertanya kepadanya; ‘Apakah ada warga sipil (Israel) di sana?’ Tanggapannya adalah, ‘Saya tidak tahu, tembak saja’.” “Saya memutuskan untuk tidak menembak sasaran (dengan tank) karena itu adalah pemukiman Israel, tapi saya menembak menggunakan senapan mesin di pintu masuk sebuah rumah,” ujarnya, yang dikutip Anadolu.
Laporan Channel 12 muncul ketika seorang pilot angkatan bersenjata Israel mengatakan militer menerapkan Protokol Hannibal selama serangan mendadak oleh Hamas pada 7 Oktober—yang dikenal sebagai Operasi Badai al-Aqsa. Dalam sebuah wawancara dengan harian Haaretz, seorang perwira bernama Letnan Kolonel Nof Erez menarik perhatian pada kemungkinan bahwa pasukan Israel yang merespons serangan Hamas mungkin telah menerapkan arahan tersebut.
Sebuah laporan Haaretz mengungkapkan bahwa sebuah helikopter militer Israel menembaki “orang-orang bersenjata Palestina” dan orang-orang Israel yang sedang menghadiri Festival Musik Nova di dekat Kibbutz Be’eri di pinggiran Gaza pada 7 Oktober.
Namun, gara-gara pengungkapan tersebut, Haaretz diancam seorang menteri Israel dengan seruan kepada seluruh pegawai pemerintah dan militer untuk berhenti beriklan dan berlangganan surat kabar itu. Seperti diketahui, Hamas meluncurkan serangan besar yang sukses ke Israel selatan pada 7 Oktober.
Menurut pemerintah Zionis, serangan itu menewaskan sekitar 1.200 orang dan ratusan lainnya disandera. Israel kemudian mendeklarasikan perang dengan membombardir Gaza nyaris tanpa henti dan ditambah dengan operasi darat. Hampir 15.000 warga Palestina di Gaza tewas dalam invasi kejam Israel, termasuk 6.150 anak-anak dan lebih dari 4.000 wanita.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut PM Israel Benjamin Netanyahu sebagai ‘tukang jagal Gaza’. Menurut Erdogan, aksi Netanyahu bersama orang yang mendukungnya akan tercatat dalam sejarah selamanya.