Strategic Assessment, Frase “Tegak Lurus” mulai marak digunakan dimana – mana apalagi didunia politik. Semakin sering digunakan ketika Periode Penetapan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Banyak kader Parpol terbelah berakibat pada dukung dan menolak koalisi yang dibangun Pimpinan Partainya. Yang mendukung berprinsip mematuhi pimpinan partai berarti tegak lurus dengan partai, sementara yang menolak mengatakan tegak lurus dengan konstitusi partai.
Seperti kuman, frase ini pun menimpah para kader partai yang terlibat langsung dalam Eksekutif dimana seharusnya kepatuhan dan ketundukan itu hanya pada Kepala Eksekutif, dalam hal ini adalah presiden. Namun karena rekomendasi penempatan mereka atas izin pimpinan partai maka ia pun menempatkan kepatuhannya kepada pimpinan partai sama atau lebih tinggi daripada kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Kerancuan pun tak terhindarkan ketika Presiden berbeda pandangan dan pilihan politik dengan pimpinan partai. Presiden tentu membutuhkan kepatuhan dan ketaatan Para Pembantunya darimana pun latar belakangnya, dengan demikian kerja dan kinerja mereka sesuai Visi Misi dan Keinginan Presiden.
Konsistensi Presiden terhadap pemberantasan korupsi nampaknya tidak diikuti tegak lurus oleh pembantu – pembantunya, faktanya beberapa Menteri Kabinet terlibat tindak pidana korupsi sehingga diberhentikan dari kabinet. Presiden pun mempersilahkan kepada penegak hukum untuk memprosesnya tanpa campur tangan presiden. Celakanya Para Menteri ini didominasi oleh Kader Partai Politik Koalisi Pemerintah dan hanya sedikit dari Non Partai/Profesional atau berlatar belakang TNI-Polri. Jelaslah mereka tidak tegak lurus dengan presiden.
Dalam Negara yang bersistem Multi Partai tentu hal ini sulit dihindari namun tak berarti tak bisa dihindari sama sekali. Sistem ini pernah berlaku di Era Orde Lama disaat Presiden Sukarno memimpin. Perdana Menteri dan Para Menteri tidak satu partai dengan Presiden. Akibatnya pergantian Perdana Menteri pun kerap terjadi, bahkan dampaknya terhadap kerukunan politik sangat signifikan sehingga Sukarno pun menjadi korban politik yang paling memprihatinkan. Sukarno memang tidak menggunakan Frase Tegak Lurus, akan tetapi sebagai Pemimpin Tertinggi seharusnya Visi, Misi dan Tujuannya wajib untuk dipatuhi.
Ujian yang sama terulang menjelang Pemilu 2024.terutama terkait dengan Pemilihan Presiden. Nampaknya ada Pimpinan Parpol yang mengambil sikap bersebelahan dengan presiden padahal mereka bagian penting dari Pemerintahan. Pilihan kepatuhan kepada Ketua Umum Partai atau kepada Presiden mempertaruhkan kualitas kinerja Pemerintahan Joko Widodo diujung Masa Baktinya menjadi pilihan serius. Banyak yang berpendapat kader partai yang berada didalam pemerintahan lebih patuh kepada Ketua Partainya daripada kepada presiden yang menyebab Para Menteri tidak fokus lagi bekerja. Rasanya memang persoalan ini tidak lagi indikasi karena telah beredar informasi tentang Reshuffle Kabinet. Kita hanya ‘wait and see’ namun tetap berharap Pemerintah dapat merampungkan program – programnya sesuai waktu yang tersedia.
Andi Naja FP Paraga
Pemerhati Sosial