STRATEGIC ASSESSMENT. Dimajukan ke bulan September, itu berarti satu bulan menjelang Presiden Jokowi mengakhiri jabatannya, yaitu pada 20 Oktober 2024.
Usulan itu boleh-boleh saja sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk memastikan berjalannya pemerintahan daerah. Karena, pemerintahan daerah kali ini adalah yang terlama dalam sejarah dipegang oleh penjabat gubernur maupun bupati (mencapai 12 bulan lebih).
Menurut saya, persoalan yang krusial adalah terkait dengan tugas penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Mereka akan dibebani tugas yang berat, menimbang proses Pemilu baru selesai sekitar akhir bulan Juli 2024 (mengandaikan ada putaran kedua Pilpres). Dan itu berarti, berdekatan atau bahkan beririsan dengan persiapan Pilkada.
Ketentuan mengenai pilkada serentak di 2024 diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah NKRI dilaksanakan pada November 2024.
Karena itu, pemerintah harus membuat aturan terkait, jika usulan perubahan waktu pelaksanaan pilkada tersebut terlaksana.
Pemilu pada dasarnya bertujuan untuk membentuk pemerintahan di pusat dan daerah. Melalui pemilu, jabatan pemerintahan nasional yang meliputi presiden, anggota DPR, dan anggota DPD akan terisi. Begitu pula dengan jabatan pemerintah daerah yang mencakup kepala daerah serta anggota DPRD.
Karena itu, menyerentakkan pemilu dan pilkada pada tahun yang sama dinilai akan menghasilkan pemerintahan yang stabil.
Pemerintahan akan stabil di antaranya kalau menggunakan desain kepemiluan. Ada keseretakan pemilu karena konstelasi politiknya yang akan mengawal 5 tahun ke depan. Jadi saat mereka memulai masa jabatan durasi 5 tahunannya kemudian dilembagakan supaya dilakukan pada tahun yang sama.
Kendati demikian, Pemilu dan Pilkada serentak 2024 akan menjadi kerja besar dan kerja keras semua pihak. Penyelenggara pemilu mau tak mau harus menanggung beban kerja yang jauh lebih berat dibanding pemilu dan pilkada sebelumnya.
Bagaimana tidak, pemilihan 5 tingkat pemimpin yang meliputi presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota akan digelar secara bersama-sama di seluruh daerah.
Pilkada harus digelar untuk memilih gubernur di 33 provinsi (minus Daerah Istimewa Yogyakarta), dan pemilihan bupati/wali kota di 514 kabupaten/kota seluruh tanah air, sembilan bulan setelahnya (tujuh bulan setelahnya, jika Pilkada dilangsungkan pada September).
Pemilu maupun pilkada bukan hanya urusan hari H pemungutan suara, melainkan serangkaian tahapan yang panjang. Karena keterbatasan waktu, nantinya akan ada tahapan pemilu dan pilkada yang berlangsung bersinggungan dalam waktu yang sama.
Namun, KPU, sebagai penyelenggara pemilu, telah mengatakan bahwa pihaknya siap terhadap perubahan waktu tersebut.
Namun, muncul juga banyak kritikan terkait dimajukannya Pilkada tersebut. Pasalnya bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi akan “cawe-cawe” dalam Pilkada. Hal ini mengingat banyak penjabat yang diangkat sebagai bupati, wali kota dan gubernur adalah mereka yang memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan.
Menurut saya, soal perubahan waktu Pilkada tersebut, sejatinya tidak perlu dikuatirkan berbagai pihak. Hanya saja, pemerintah juga harus memastikan agar Pilkada terselenggara secara demokratis, transparan, jujur dan adil.
Karena, menurut saya, pertanyaan tersebut muncul dari adanya kekuatiran dari tidak jujur dan adilnya pemerintah maupun para penyelenggaraan Pilkada. (Veri Herdiman)