STRATEGIC ASSESSMMENT. Wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali bergulir. Kali ini, gagasan tersebut datang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Perubahan terhadap konstitusi diusulkan, di antaranya untuk mengembalikan kedudukan MPR menjadi lembaga tertinggi negara, juga pembentukan pokok haluan negara. Dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR 2023, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyampaikan pendapatnya tentang perlunya MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. “Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri, saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu,” kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam pidatonya di Gedung Kura-kura Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Menurut Bamsoet, demikian sapaan akrabnya, ada persoalan-persoalan negara yang belum mampu terjawab oleh Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya, apabila terjadi bencana alam yang berskala besar, pemberontakan, peperangan, pandemi, atau keadaan darurat lain yang menyebabkan pemilu tak dapat digelar sebagaimana perintah konstitusi. Dalam situasi demikian, tidak ada presiden dan wakil presiden yang terpilih dari produk pemilu.
Contoh tersebut menimbulkan pertanyaan, siapa pihak yang punya kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya demikian. “Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum? Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?” ucap Bamsoet.
Sebelum konstitusi diubah, kata Bamsoet, MPR dapat menerbitkan ketetapan yang bersifat pengaturan untuk melengkapi kekosongan konstitusi. Namun, setelah amendemen UUD 1945, masalah-masalah demikian belum ada jalan keluar konstitusionalnya. Sementara, merujuk ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan. Kewenangan ini guna mengatasi dampak dari suatu keadaan fiskal maupun politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.
Atas alasan-alasan itulah, Bamsoet mendorong MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. “Hal itu memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua sebagai warga bangsa,” tuturnya. Dalam kesempatan yang sama, Bamsoet juga menyuarakan tentang pembahasan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Menurutnya, PPHN patut dipertimbangkan sebagai produk hukum yang dapat mencegah sekaligus menjadi solusi untuk mengatasi persoalan negara. “Indonesia membutuhkan perencanaan jangka panjang yang holistik, konsisten, berkelanjutan, dan berkesinambungan dari suatu periode pemerintahan ke periode pemerintahan berikutnya, antara pusat dan daerah,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti dalam pidatonya menyampaikan, pihaknya usul agar MPR kembali jadi lembaga tertinggi dengan alasan demokrasi. “Mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebagai sebuah sistem demokrasi yang berkecukupan, yang menampung semua elemen bangsa, yang menjadi penjelmaan rakyat sebagai pemilik dan pelaksana kedaulatan,” katanya.
La Nyalla juga menyinggung tentang sistem pemilihan presiden secara langsung yang menurutnya mahal dan justru merusak persatuan bangsa. “Pemilihan Presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa difabrikasi,” ujarnya.
La Nyalla pun menyatakan pihaknya mendukung MPR untuk memperbaiki sistem kenegaraan Indonesia demi mempercepat terwujudnya cita-cita bangsa. “Kami di DPD RI menyambut baik kehendak MPR RI untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan sistem bernegara kita, sebagai sebuah jalan keluar untuk memberikan ruang bagi bangsa dan negara ini untuk merajut mimpi bersama,” kata dia.
Wacana amendemen UUD 1945 bukan sekali ini saja bergulir. Gagasan tersebut berulang kali disuarakan dengan sejumlah alasan. Terkait PPHN, misalnya, telah digembar-gemborkan Ketua MPR sejak 2020 lalu. Bamsoet mengusulkan pembentukan PPHN lewat amendemen UUD 1945 secara terbatas. Menurutnya, ketiadaan PPHN menyebabkan bangsa kehilangan arah dalam mencapai cita-cita. Padahal, dahulu Indonesia memiliki Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“Ketiadaan PPHN dalam konstitusi, dirasakan telah membuat bangsa ini kehilangan arah dalam mencapai tujuan sebagai bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur,” kata Bamsoet dalam Peringatan Hari Konstitusi. Meski menuai pro dan kontra, gagasan tersebut terus digulirkan Bamsoet. Bahkan, Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu mengeklaim bahwa Presiden Joko Widodo setuju amendemen UUD 1945 dilakukan secara terbatas untuk mengakomodir PPHN.
“Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada MPR RI mengenai pembahasan amendemen UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN. Karena merupakan domain dari MPR RI,” katanya. Namun, pada akhirnya, MPR sepakat tidak akan melakukan amendemen UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN, setidaknya selama periode pemerintahan 2019-2024. Kesepakatan ini diambil melalui rapat gabungan secara tertutup antara pimpinan MPR dan Badan Pengkajian MPR di Gedung MPR, Jakarta.
“Menghadirkan PPHN melalui Tap MPR dengan perubahan terbatas UUD 1945 atau amendemen yang selama ini dicurigai, ditunggangi perubahan jabatan presiden, saat ini sulit untuk kita realisasikan,” kata Bamsoet di Gedung MPR.
Sebelum itu, gagasan perbaikan UUD 1945 juga sempat mencuat karena adanya usulan perpanjangan masa jabatan presiden. Wacana ini mengemuka pada awal masa pemerintahan Jokowi periode kedua. Saat itu, ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi 8 tahun dalam satu periode. Ada pula yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi 4 tahun dan bisa dipilih sebanyak 3 kali. Usul lainnya, masa jabatan presiden menjadi 5 tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak 3 kali.
Kala itu, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyebut, dorongan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode diusulkan oleh Fraksi Nasdem di DPR. Padahal, menurutnya, mayoritas fraksi menolak usulan amendemen terkait perpanjangan masa jabatan serta perubahan cara pemilihan presiden. “Untuk masa jabatan tiga periode itu yang paling mendorong Nasdem,” kata Hidayat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat. Namun, sejumlah kader Nasdem membantah tudingan tersebut. Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya, misalnya, menyebut bahwa partainya hanya menangkap aspirasi publik perihal masa jabatan presiden.
Ketika itu, Jokowi merespons keras isu tersebut. Dengan lantang ia mengatakan tidak setuju pada usul perpanjangan masa jabatan presiden. Mantan Wali Kota Solo itu bahkan curiga ada pihak yang ingin menjerumuskannya dengan mengusulkan wacana tersebut. “Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta.
Jokowi menegaskan, sejak awal ia sudah menyampaikan bahwa dirinya adalah produk pemilihan langsung berdasarkan UUD 1945 pasca-reformasi. Oleh karenanya, masa jabatannya dibatasi 2 periode saja. Seiring berjalannya waktu, wacana perpanjangan masa jabatan presiden lewat amendemen UUD 1945 berulang kali bergulir. Namun, presiden juga berkali-kali membantah adanya upaya memperpanjang masa jabatannya.
Wacana amendemen UUD 1945 menuai respons beragam, khususnya terkait ide mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pasalnya, jika ide itu terealisasi, tidak akan ada pemilhan presiden dan wakil presiden secara langsung. Sebab, presiden dan wakil presiden akan dipilih oleh MPR itu sendiri.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai, usulan tersebut tak mendesak untuk diwujudkan dan justru berpotensi membawa kemunduran demokrasi. “Gagasan amendemen UUD 1945 yang diusulkan saat ini tidak mendesak dan justru menunjukkan kemunduran yang kental dengan otoritarianisme. Selain itu, usulan amandemen UUD 1945 juga tidak mengindikasikan upaya penguatan ketatanegaraan, rule of law, dan demokrasi di Indonesia,” kata Peneliti PSHK, Violla Reininda.
Menurut PSHK, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah tidak relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia saat ini. Gagasan tersebut bahkan cenderung melemahkan sistem presidensial yang telah dibangun selama era Reformasi. Ketimbang mengusulkan perubahan konstitusi, MPR yang anggotanya terdiri dari DPR dan DPD diminta fokus pada upaya memperbaiki proses pembentukan dan substansi legislasi. Sebab, masih banyak persoalan dalam proses pembentukan sejumlah undang-undang. Mulai dari pelibatan partisipasi publik, aksesibilitas dokumen, transparansi dokumen dan proses pembentukan, serta akuntabilitas proses pembentukan undang-undang. “Misalnya, tecermin pada pembentukan UU Kesehatan dan Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU,” ujar Violla.
Violla mengatakan, tanpa adanya komitmen perbaikan dalam proses pembentukan undang-undang, amendemen konstitusi hanya akan menjadi forum konsolidasi elite politik untuk melanggengkan kekuasaan. Dikhawatirkan, perubahan-perubahan fundamental dalam UUD 1945 bakal mengesampingkan nilai-nilai partisipasi publik dan penguatan ketatanegaraan, sehingga berpotensi menghadirkan amendemen konstitusi yang inkonstitusional.
“Berdasarkan catatan-catatan yang telah diuraikan di atas, PSHK mendesak MPR untuk menghentikan upaya amendemen UUD 1945, utamanya terkait penghidupan kembali pokok-pokok haluan negara, menempatkan MPR sebagai lembaga tinggi negara, dan mengembalikan utusan golongan dan utusan daerah di MPR,” tutur Violla.
Sejalan dengan itu, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam, menilai, ide amandemen UUD 1945 berpeluang membuka kotak pandora. Dia khawatir, wacana perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat seiring dengan kembalinya gagasan ini. “Usulan amandemen konstitusi ini juga jelas berpeluang ditunggangi oleh kepentingan sempit untuk menunda Pemilu 2024 atau skema perpanjangan masa jabatan presiden,” katanya.
Menurut Umam, amendemen secara parsial terhadap sejumlah pasal-pasal konstitusi kurang tepat. Sebab, amandemen harus dijalankan secara menyeluruh dengan basis pembacaan yang betul-betul mendalam dan tidak serampangan. Dia juga menegaskan, ide amandemen tidak boleh menjadi alasan untuk menunda jadwal Pemilu 2024 sebagai bagian dari proses konstitusi yang sedang berjalan. “Patut disayangkan jika ide pimpinan MPR dan DPD ini justru dimanfaatkan oleh kepentingan sempit tertentu untuk menunda Pemilu 2024 mendatang,” kata dosen Universitas Paramadina tersebut (www.kompas.com)