STRATEGIC ASSESSMENT. Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB) dikritik karena dianggap tidak mengakomodasi umat penghayat kepercayaan. Kritik itu salah satunya datang dari SETARA Institute dan INFID.
Kedua organisasi itu mengaku telah melakukan diskusi dengan majelis-majelis agama dan kepercayaan serta masyarakat sipil dengan maksud memfasilitasi ruang dialog dalam membahas Ranperpres PKUB yang tengah disusun pemerintah.
“Dalam kajian kami Ranperpres ternyata masih memuat berbagai norma yang berpotensi menimbulkan diskriminasi, terutama bagi kelompok minoritas agama dan kepercayaan,” kata Peneliti SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah.
Sayyidatul menjelaskan, dari 36 Pasal yang dimuat dalam Ranperpres PKUB, mereka mengusulkan 21 perubahan. Puluhan perubahan itu meliputi perubahan redaksi maupun substansi yang berimplikasi pada penikmatan hak-hak konstitusional masyarakat, terutama dalam penikmatan atas KBB.
Secara garis besar, kata Sayyidatul, 21 usulan perubahan tersebut dapat diringkas ke dalam empat poin utama. Pertama, terkait inklusi penghayat kepercayaan dalam pengaturan PKUB.
Sayyidatul menyebut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 telah mengafirmasi kesetaraan antara agama dengan kepercayaan. Namun demikian, diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan masih sering terjadi.
Oleh karena itu, kata dia, Ranperpres PKUB mesti menginklusi eksistensi Penghayat Kepercayaan dan hak-hak mereka. Dalam Raperpres PKUB, baik secara redaksi maupun substansi, pengaturan PKUB masih sangat minim menyebut perihal penghayat kepercayaan.
“Untuk itu, inklusi Penghayat Kepercayaan harus dilembagakan melalui Ranperpres PKUB,” ujarnya.
Kedua, terkait integrasi tata kelola pemerintahan inklusif sebagai prinsip utama tugas pemerintahan kepala daerah dalam PKUB.
Mencermati studi-studi yang dilakukan sebelumnya, SETARA Institute dan INFID memandang tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif merupakan fondasi penting bagi pemajuan toleransi dan kerukunan di daerah-daerah.
Sayyidatul menyatakan tata kelola pemerintahan inklusif ini bertolak dari kebutuhan mengakselerasi kinerja pemerintahan daerah mengatasi praktik intoleransi.
Ketiga, transformasi pengaturan pendirian rumah ibadah. Data longitudinal SETARA Institute (2007-2022) mengenai pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) menunjukkan telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah.
Ratusan gangguan itu mencakup pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya.
Secara spesifik, laporan KBB SETARA Institute tiap tahun juga menemukan penolakan pendirian rumah ibadah selalu menjadi salah satu kasus dominan di antara peristiwa pelanggaran KBB.
Hal itu, kata dia, dipicu ketentuan-ketentuan diskriminatif soal pendirian rumah ibadah dalam PBM Tahun 2006.
“Untuk itu, perlu dirumuskan beberapa perubahan untuk meminimalisasi penolakan terhadap pendirian rumah ibadah,” ujarnya.
Beberapa masukan dari mereka di antaranya, pemerintah harus membuat penegasan syarat 60 orang yang dapat berasal dari satu agama maupun berbeda agama, adanya sanksi bagi kepala daerah yang tidak memberikan keputusan perihal pendirian rumah ibadah dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dan perluasan subjek pemohon rumah ibadah.
“Keseluruhan usulan ini dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat dalam menikmati hak beribadah yang telah dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) konstitusi,” ujarnya.
Usulan revisi itu perlu ditambahkan dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 23 ayat (2) huruf b, dan Pasal 24, yang pada pokoknya berkenaan dengan pendirian rumah ibadah.
Keempat, terkait reformasi kelembagaan FKUB. Dia menilai salah satu kemajuan mendasar yang dirumuskan dalam Ranperpres PKUB adalah tiadanya kewenangan FKUB untuk memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah.
“Hal tersebut perlu diapresiasi sebagai political will yang baik dari pemerintah untuk mengurangi salah satu faktor terhambatnya pendirian rumah ibadah yang terjadi selama ini, mengingat selama ini rekomendasi FKUB seringkali menjadi pemicu terjadinya penolakan pembangunan rumah ibadah,” paparnya.
Meskipun demikian, Program Offier INFID Rizka Antika menyebut Ranperpres PKUB masih memuat norma-norma yang regresif berkenaan dengan FKUB. Dia menilai diperlukan perubahan pada beberapa isu penting berkenaan dengan FKUB.
Beberapa perubahan itu antara lain; (1) norma pembentukan FKUB Nasional harus dihapus, sebab tidak memiliki urgensi fungsional yang nyata; (2) pengaturan syarat anggota FKUB yang masih lemah sehingga perlu ditinjau ulang; (3) pembinaan terhadap anggota FKUB yang masih perlu dikuatkan; dan (4) penambahan wewenang FKUB.
“Keseluruhan usulan ini diajukan demi meningkatkan efektivitas kelembagaan FKUB agar kontributif pada pemajuan KUB. Untuk itu, perlu dilakukan revisi terhadap seluruh Pasal dalam Bab III yang terurai dari Pasal 7 hingga Pasal 21 Ranperpres PKUB, yang pada pokoknya mengatur mengenai FKUB,” kata Rizka.
Berkenaan dengan usulan perubahan tersebut, majelis agama dan kepercayaan serta masyarakat sipil mendorong Presiden untuk memberikan perhatian terhadap pengaturan mengenai pemeliharaan kerukunan umat beragama yang lebih inklusif serta sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Lalu, membuka ruang dialog dan partisipasi bermakna untuk menghimpun masukan dari para pihak, seperti majelis agama dan kepercayaan, kelompok-kelompok minoritas dalam isu kerukunan dan pendirian rumah ibadah, dan masyarakat sipil.
“Dan menginstruksikan Menteri Agama dan jajaran kementerian/lembaga terkait untuk melakukan revisi terhadap Ranperpres PKUB pada tahun 2023 ini,” ucap Rizka.