STRATEGIC ASSESSMENT. Sinyalemen kunci . ‘’Bambang Soesatyo, 17/2/2020: Paling Mahal Rp. 1 Triliun Untuk Kuasai Parpol. Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, Presiden kita, Bupati kita, Gubernur kita dan Walikota kita, karena sistem yang kita punya.’’ (Prijanto, Untaian Butir-Butir Mutiara Konstitusi Indonesia, hlm.195).
Pidato dalam Sidang Gabungan MPR, DPR, DPD, 16 Agustus 2023, sangat menarik, karena berani membicarakan konstitusi Indonesia, dengan beragam pendapat. Bamsoet, Ketua MPR RI pernah menyampaikan ada pembelahan kehendak terhadap konstitusi Indonesia. Ada yang : (1) ingin mempertahankan hasil amandemen atau UUD 2002, (2) minta Kaji Ulang hasil amandemen, (3) minta amandemen terbatas, dan (4) kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan adendum.
Pidato Ketua DPD RI, dengan dasar hasil kunjungan ke daerah, menemukan kondisi ketidakadilan dan kemiskinan struktural, sehingga perlu kembali ke sistem bernegara hasil pemikiran founding fathers, seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, kemudian dilakukan penyempurnaan dan penguatan melalui tehnik adendum konstitusi.
Ajakan tersebut bukan ajakan pribadi, tetapi hasil Sidang Paripurna DPD RI tanggal 14 Juli 2023. Putusan DPD RI ada dasar empirisnya dalam arti merupakan hasil temuan dan pengamatan selama kunjungan di daerah-daerah dan dikaji secara akademis, sehingga bisa dipertanggungjawabkan.
Bagi kaum konstitusionalis, perjuangan kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan adendum bukan hal baru. Gerakan perjuangan dari café ke café, ruang diskusi ke tempat diskusi lainnya, dan tulisan-tulisan dalam buku-buku serta menyampaikan aspirasi ke MPR, kini sudah mengristal menjadi ajakan bersifat kelembagaan, dari lembaga negara bernama DPD RI dalam acara kenegaraan.
Pidato Ketua DPD RI kemarin seperti harapan penulis dalam buku ‘’Untaian Butir-Butir Mutiara Konstitusi Indonesia’’ dan tentunya juga harapan kawan-kawan konstitusionalis. Bahwasanya, untuk menyelamatkan Indonesia, diperlukan kesadaran para pimpinan supra dan infra struktur politik dengan anggotanya, untuk kembali ke UUD 1945, selanjutnya disempurnakan dengan adendum, khususnya adendum pembatasan jabatan Presiden. Untuk itu penulis dkk konstitusionalis, mengacungkan jempol dan memberi apresiasi kepada seluruh anggota DPD RI.
Sebagaimana disampaikan Ketua MPR sebelumnya, terbukti ada kelompok yang kukuh dengan konstitusi saat ini. Koran POJOK KIRI, dengan head line : Golkar Tolak Presiden Dipilih MPR (Lagi), 18 Agustus 2023; berarti Golkar menolak kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan adendum. Begitu pula Partai Demokrat, lewat Koordinator Jubirnya, menolak hapus Pilpres langsung dan dia heran mengapa usul di saat demokrasi Indonesia maju. Sikap Demokrat tidak mengherankan, karena partai ini besutan SBY. Presiden SBY, seingat penulis pernah keluarkan Perppu ketika DPR ingin mengembalikan Pilkada di DPRD, dan lucunya disetujui DPR. Padahal, melalui Pilkada langsung, praktik korupsi seperti dibudidayakan. Pemilihan Kepala Daerah itu seperti peternakan koruptor, kata Mahfud MD. (Kompas.com, 10/4/2018).
Di mata para ahli, keterukuran demokrasi disebut maju atau tidak, bukan terletak pada caranya, langsung atau tidak langsung sebagaimana pendapat koordinator Jubir Demokrat. Keterukuran demokrasi hendaknya dilihat sejauhmana outcome dari demokrasi tersebut untuk rakyat.
Respons lain, datang dari Mahfud MD, mempersilakan UUD 1945 diamandemen. Komentar yang paling progresif datang dari Jimly Asshiddiqie, menyarankan DPD RI untuk dibubarkan. Sebab, usul, pertimbangan, saran dari DPD RI tidak pernah didengar. DPD RI antara ada dan tiada.
Kini, DPD RI sudah sejalan dengan kaum konstitusionalis kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan adendum versus MPR dan partai-partai yang cenderung ingin amandemen terbatas. Mencermati penjelasan Ketua MPR di Medsos, amandemen terbatas menyangkut: (1) perlunya Utusan Golongan di MPR, (2) perlunya GBHN/PPHN, (3) perlunya MPR sebagai Lembaga Negara tertinggi, (4) perlunya MPR memiliki kewenangan membuat Ketetapan MPR, dan (5) perlunya Ketetapan MPR tentang Penundaan Pemilu, jika terjadi sesuatu, saat masa jabatan Presiden habis.
Andaikan semua di pra anggapan terpenuhi, apalah artinya MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara tertinggi jika tujuannya hanya untuk membuat Tap MPR tanpa memilih Presiden dan Wakil Presiden? Soal parameter penundaan Pemilu, bisa dibuatkan Undang-Undang, tidak perlu mesti Tap MPR.
Kemudian muncul dugaan, apakah Tap MPR hanya bertujuan untuk legalisasi GBHN/PPHN? Apa artinya, GBHN/PPHN jika isinya maunya oligarki pemodal pengendali Pemilu, sebagaimana sinyalemen Bamsoet, bahwa ‘’paling mahal Rp.1T untuk kuasai Parpol’’? Logiskah ada GBHN/PPHN produk MPR tetapi ada visi dan misi Capres pada sistem demokrasi liberal? Sesungguhnya, melakukan amandemen terhadap UUD 2002, ibaratnya melegalkan ‘’ketersesatan’’ jalannya kehidupan bernegara semakin dalam, dan bisa membawa perpecahan tajam dan Indonesia bisa punah.
Bagaimana tidak punah? Fenomena polarisasi Pilpres langsung dari sistem UUD 2002, yang disukai Parpol tersebut, dan suka diabaikan, secara faktual telah membuahkan pembelahan persatuan, biaya tinggi dan money politic yang melahirkan ketidakjujuran, ketidakadilan, KKN, buzzer dan influencer politik yang brutal, dinasti politik, menurunnya kualitas kepemimpinan dan peraturan perundang-undangan sehingga terjadi kemiskinan struktural. Semua kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan omong kosong negara berdasarkan Pancasila.
Puncak keprihatinan Indonesia adalah perpecahan, yang konon juga disampaikan mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono pada acara bedah buku ‘’Mimpi Indonesia (Tahun 1945)’’ di Bentara Budaya. Selain Jenderal Purn AM Hendropriyono, pembicara lainnya Dr. Sukidi, Dr. Khoirul Umam dan Grace Natalie, pun juga prihatin, melihat potensi perpecahan Indonesia.
Keprihatinan Prof. AM Hendropriyono mantan Ketua BIN, cukup beralasan dikaitkan kehidupan akibat Pilpressung. Sinyalemen Bamsoet, untuk menguasai Parpol cukup Rp. 1 triliun, sehingga pemodal menguasai segalanya, memperkuat keprihatinan. Apa yang disampaikan AM Hendropriyono merupakan perkiraan intelijen karena dia tokoh intelijen, harus menjadi pertimbangan semua pihak yang ingin bertahan dengan UUD 2002 dan mengukur demokrasi hanya dengan pemilihan langsung.
Apabila bangsa Indonesia mempertahankan konstitusi hasil amandemen tahun 1999–2002, atau UUD 2002, maka fenomena polarisasi Pilpres di atas akan semakin tajam. Indonesia benar-benar pecah, walau tidak ada baku hantam. Sebab, rasa dendam dan kebencian yang membara di dalam hati karena beda pilihan, sehingga tidak ada lagi rasa persatuan sebagai bangsa, berakibat Indonesia punah. Sikap seperti ini lebih berbahaya daripada perpecahan dengan keterukuran bacok-bacokan.
Padahal bangsa itu adalah sekelompok manusia yang mempunyai kehendak untuk bersatu, atau kelompok manusia yang merasa dirinya satu, Le Desir D’Etre Ensemble, kata Ernest Renan. Dengan demikian, Amandemen bukan aku mau. Kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan andendum yang aku mau, agar bangsa Indonesia bersatu dan Indonesia tidak punah. Insya Allah, aamiin. [*]
MAYJEN TNI PURN PRIJANTO adalah ASTER KASAD 2006-2007; WAGUB DKI JAKARTA 2007-2012 dan INISIATOR GERAKAN KEBANGKITAN INDONESIA