
STRATEGIC ASSESSMENT. Kebijakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertubi-tubi mendapatkan upaya perlawanan dari dunia internasional. Sejumlah negara maupun lembaga keuangan internasional terus berupa “menyerang” kebijakan Presiden Jokowi dan meminta RI untuk segera menghapus kebijakan yang telah dibuatnya tersebut.
Kebijakan Presiden Jokowi yang terus mendapatkan “serangan” dari dunia internasional ini yaitu larangan ekspor mineral mentah hingga program hilirisasi di dalam negeri.
Mulanya, Uni Eropa lebih dahulu menentang kebijakan Presiden Jokowi ini. Pada 2020 lalu, Uni Eropa menggugat Indonesia melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena larangan ekspor mineral mentah, yakni nikel. Dan upaya Uni Eropa ini seolah mendapatkan dukungan dari WTO karena pada Oktober 2022 lalu Indonesia dinyatakan kalah oleh Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) WTO.
Namun demikian, pemerintahan Jokowi tak tinggal diam. Indonesia akhirnya resmi mengajukan banding atas kekalahan di WTO tersebut pada Desember 2022 lalu. Namun hingga kini proses banding belum juga dimulai karena Indonesia masih harus menunggu terbentuknya Majelis Banding WTO yang hingga kini masih “tersandera” Amerika Serikat. Pasalnya, Negeri Paman Sam tersebut menginginkan reformasi besar di tubuh Majelis Banding WTO.
Indonesia pun diperkirakan masih harus menunggu hingga setidaknya 2024 mendatang. Itu pun, masih mengantre dengan kasus banding yang telah diajukan sejumlah pihak sebelumnya.
Belum juga proses banding dimulai, kini tiba-tiba Indonesia harus mengalami “serangan” lainnya. Kali ini, “serangan” datang dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Pada pekan lalu, IMF tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.
IMF juga meminta agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari sisi analisa biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional pemberi utang tersebut, kebijakan hilirisasi merugikan Indonesia. “Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil dan ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini,” kata IMF dalam laporannya Article IV Consultation, dikutip Selasa (27/6/2023).
Oleh sebab itu, IMF mengimbau adanya analisa rutin mengenai biaya dan manfaat hilirisasi. Analisa ini harus diinformasikan secara berkala dengan menekankan pada keberhasilan hilirisasi dan perlu atau tidaknya perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.
“Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan efek rambatan lintas batas yang negatif,” tambahnya.
Dengan demikian, IMF menilai otoritas harus mempertimbangkan kebijakan hilirisasi dalam negeri yang lebih tepat untuk mencapai tujuannya dalam meningkatkan nilai tambah produksi.
“Meningkatkan nilai tambah dalam produksi, dengan menghapus secara bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan untuk komoditas lain,” paparnya.
Lantas, mengapa dunia bertubi-tubi “menyerang” kebijakan RI ini?
Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menilai, aksi sejumlah dunia internasional tersebut sebagai upaya menjegal Indonesia menjadi negara maju. Bahlil menjelaskan, Indonesia saat ini mempunyai tujuan untuk bisa menjadi negara maju. Sementara kunci untuk menjadi negara maju salah satunya melalui industrialisasi.
“Kita ini punya tujuan menjadi sebuah negara berkembang jadi negara maju, bukan hanya dari pendapatan per kapita, itu hanya 1 syarat. Tapi syarat lainnya adalah industrialisasi,” ujar Bahlil dalam Konferensi Pers, Jumat (30/6/2023).
Hal tersebut seperti apa yang sudah dilakukan bangsa Eropa, seperti Inggris misalnya yang pada abad ke-16 telah memulai industrialisasi di sektor tekstil. Lalu ada Amerika Serikat (AS) yang mempunyai kebijakan pengenaan tarif impor sebesar 40% pada tahun 1930 untuk membangun industri dalam negeri.
Berikutnya, China yang pada 1980-an menetapkan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada produknya harus mencapai 80%. Kemudian, ada Finlandia yang pada 1986 menerapkan kebijakan untuk investor asing tidak boleh memiliki saham lebih dari 20%.
“Ini sejarah. Apakah Indonesia gak boleh ikuti jejak mereka? Apakah harus ikuti gaya IMF yang menurut saya tidak pantas untuk kita mendengar sebagian, sebagian bagus dia memuji-muji kita, yang gak bagus gak setuju,” katanya.

Begitu pun dari sisi manfaat. Alih-alih merugikan, Bahlil menyebut, kebijakan hilirisasi justru berdampak positif bagi perekonomian RI. Kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor nikel yang sudah dilakukan pemerintah sejak 2020 lalu telah berhasil menguntungkan hingga US$ 30 miliar atau setara Rp 450 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$). “Hilirisasi nikel, ekspor nikel kita 2017-2018 hanya US$ 3,3 miliar, begitu stop ekspor, hilirisasi pada 2022 hampir US$ 30 miliar, naik sepuluh kali lipat,” ucapnya.
Dari sisi neraca perdagangan juga terjadi perbaikan dengan 25 bulan berturut-turut Indonesia selalu mengalami surplus. Khususnya dengan China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia, terjadi perbaikan neraca perdagangan. Pada 2018, neraca dagang RI dengan China defisit sebesar US$ 18,4 miliar.
Namun seiring dengan penerapan hilirisasi, defisit neraca perdagangan RI dengan China turun menjadi US$ 1,6 miliar pada 2022, bahkan menjadi surplus sebesar US$ 1,2 miliar pada kuartal I-2023.
“Ini akibat hilirisasi dan mendorong ekspor kita tidak lagi berbentuk komoditas mentah, tapi berbentuk setengah jadi dan barang jadi,” tutur Bahlil.
Kementerian Investasi mencatat, sejak diberlakukan kebijakan hilirisasi, pertumbuhan penciptaan tenaga kerja rata-rata pada sektor hilirisasi tiap tahun mencapai angka 26,9% dalam empat tahun terakhir.
Begitu juga dari sisi pendapatan negara, ikut mencapai target di dua tahun terakhir. Pada 2021, pendapatan negara mencapai Rp 2.003,1 triliun atau 114,9% dari target, dan di 2022 mencapai Rp 2.626,4 triliun atau 115,9% dari target. Kendati demikian, Bahlil mengakui, dalam konteks penerimaan negara untuk pajak ekspor komoditas memang terjadi pengurangan sejak kebijakan larangan ekspor diterapkan.
Namun, ketika hilirisasi dilakukan, pemerintah mengantongi penambahan pendapatan dari sisi pajak penghasilan (PPh) badan, pajak pertambahan nilai (PPN), serta PPh pasal 21 dari tenaga kerja. Serta, meningkatnya lapangan pekerjaan.
Ekonom INDEF Abra Talattov menilai program hilirisasi yang saat ini tengah digenjot Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu dipertimbangkan untuk dikaji ulang. Ini menyusul masukan Dana Moneter Internasional (IMF) yang meminta Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain. Bahkan, IMF juga meminta agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari sisi analisa biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional pemberi utang tersebut, kebijakan hilirisasi merugikan Indonesia.
“Saya melihat masukan IMF terhadap kebijakan hilirisasi ini semestinya patut dikaji atau diterima lebih dulu oleh pemerintah. Hasil kajian tersebut perlu dipertimbangkan pemerintah apakah betul implikasi yang disebutkan IMF akan menimbulkan resiko bagi Indonesia, baik jangka panjang dan jangka pendek,” kata Abra kepada CNBC Indonesia, Rabu (5/7/2023). Abra mengakui kebijakan hilirisasi jangka pendek memang mempunyai manfaat bagi perekonomian RI sejauh ini. Hal tersebut dapat terlihat dari sisi nilai ekspor mineral yang sudah diolah menjadi barang setengah jadi, naik signifikan.
“Itu mampu meningkatkan nilai ekspor yang signifikan, tetapi kalau sebetulnya mau kita hitung lagi apakah kebijakan ini secara netto ini punya benefit buat kita karena kita kan pada akhirnya produk akhir mineral dari nikel harga jualnya jauh lebih tinggi dan kita masih sangat bergantung pada hasil produk impor dari Tiongkok,” kata Abra.
Oleh sebab itu, alih-alih menutup keran ekspor, Abra menilai agar pemerintah dapat kembali membuka keran ekspor mineral mentah ke luar negeri secara bertahap. Namun dengan catatan, porsinya dibuat terbatas.
“Seperti kebijakan DMO batu bara dan Sawit kalau DMO kebutuhan dalam negeri porsinya kecil paling besar ekspor nanti sebaliknya dalam konteks ini pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan DMO nikel tapi porsi terbesarnya untuk domestik,” ujarnya.
Senada dengan Abra, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai program hilirisasi yang terkait dengan proteksionisme dagang atau dalam hal ini larangan ekspor mineral mentah akan rentang mendapatkan serangan dari dunia internasional. Pasalnya, ini bisa mengganggu rantai pasok global. Alih-alih menutup keran ekspor mineral mentah, Bhima menyarankan agar pemerintah tetap membuka keran ekspor dengan mempertimbangkan skema tarif atau bea keluar yang lebih tinggi. Misalnya untuk ekspor bijih nikel lebih tinggi dibandingkan dengan besaran pajak ekspor untuk feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).

“Hilirisasi yang ideal adalah hilirisasi dengan menggunakan skema tarif ataupun bea keluar yang lebih tinggi untuk bijih nikel. Sementara untuk feronikel, pig iron karena baru setengah jadi itu diberikan tarif yang lebih rendah,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (4/7/2023).
Sementara itu, ia berpendapat bagi produk nikel yang menghasilkan stainless steel dan baterai (EV) bisa mendapatkan keringanan bahkan pembebasan bea keluar. Dengan demikian, cara-cara hilirisasi seperti ini dinilai lebih produktif dibandingkan pelarangan total.
“Pelarangan total ekspor bijih ternyata juga tidak efektif karena masih banyak pintu ekspor bijih secara ilegal seperti temuan KPK itu ada catatan yang beda antara yang diekspor oleh Indonesia dengan yang tercatat dengan bea cukai yang ada di Tiongkok dan itu merugikan negara cukup besar,” kata dia.
Produk sawit Indonesia terancam tak bisa masuk dipasarkan ke kawasan Uni Eropa. Menyusul diberlakukannya Undang-undang (UU) Antideforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) sejak Mei 2023 lalu. Di mana, dengan aturan terbaru itu, produk sawit, daging, kopi, kayu, kakao, karet, kedelai, dan turunannya yang masuk ke Uni Eropa harus memenuhi sejumlah syarat melalui uji tuntas. Produk yang dihasilkan dari proses memicu deforestasi per 31 Desember 2020 tidak boleh dijual ke Uni Eropa.
Dalih Uni Eropa, aturan baru itu diberlakukan untuk menekan laju deforestasi. Dan, mencegah berlanjutnya degradasi dan penyalahgunaan hutan. LPEM FEB UI pun menganalisis alasan di balik Uni Eropa memberlakukan EUDR. UU baru itu disebut bakal jadi penghambat ekspor berbagai komoditas dari negara berkembang ke Uni Eropa. Tak ketinggalan, produk unggulan ekspor Indonesia.
Disebutkan, kriteria utama dalam EUDR adalah produksi bebas deforestasi, ketertelusuran sumber daya produk, dan kegiatan produksi yang legal, seperti legalitas tanah, perlindungan lingkungan dan penjaminan hak tenaga kerja.
“Pengaturan EUDR menggunakan metriks/ tolak ukur yang ditentutan sendiri oleh Uni Eropa. Bukan menggunakan indikator-indikator pencapaian lingkungan yang sudah ada,” tulis LPEM UI dalam Trade and Industry Brief edisi Juni 2023, dikutip Kamis (6/7/2023).
Kajian LPEM UI menemukan, UU itu bisa dijadikan sebagai alat bagi Uni Eropa untuk bernegosiasi dalam perundingan rencana kerja sama komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement/ I-EU CEPA).
Di mana, pada medio Mei 2023 lalu, kedua pihak sudah menyelesaikan perundingan putaran ke-14 di Brussel, Belgia. “EUDR akan menjadi salah satu bargaining chip (strategi untuk memenangkan perundingan) UE untuk negosiasi perdagangan dengan Indonesia,” sebut LPEM UI.
Dasar analisis LPEM UI mengacu pada pewaktuan dari EUDR yang persetujuan awalnya tercapai pada 6 Desember 2022 berdekatan dengan putaran ke-14 IEU CEPA. “EUDR berpotensi memberikan dampak secara langsung yang lebih besar kepada negara-negara produsen tujuh komoditas tersebut. Karena eksportir harus memiliki dan menunjukkan dokumentasi spesifik bahwa produk mereka telah memenuhi kriteria yang ditetapkan,” tulis LPEM UI.
“Bagi Indonesia, hadirnya EUDR ini dapat dilihat dari beberapa perspektif. Pertama, regulasi ini dapat didorong oleh upaya UE untuk menekan defisit neraca
perdagangan sekaligus melindungi produsen barang substitusinya di internal wilayah UE,” tambah LPEM UI. LPEM UI mencatat, defisit perdagangan UE terhadap Indonesia dalam beberapa terakhir memang mengalami lonjakan.
Mengutip ITC Trademap, LPEM UI mencatat, defisit perdagangan UE terhadap Indonesia pada tahun 2013 sebesar US$8,8 miliar. Tahun 2022 angka itu melonjak menjadi US$21,4 miliar. Bagi Indonesia, EUDR akan jadi tantangan terbesar bagi ekspor minyak sawit (crude palm oil/ CPO).
Meski, sejak tahun 2018 ekspor minyak sawit RI ke kawasan itu dilaporkan terus menyusut, namun karena harga yang meningkat menyebabkan porsi ekspor ke UE tetap berperan besar. “Indonesia perlu mengantisipasi kompensasi dari negosiasi EUDR tersebut dalam IEU CEPA. Permasalahan EUDR sebaiknya tidak sampai memengaruhi sikap Indonesia dalam pembatasan ekspor nikel dan bauksit,” sebut LPEM UI.
Selain itu, LPEM UI mewanti-wanti potensi Uni Eropa menjadikan EUDR alat negosiasi agar pemerintah membuka keran impor yang kemudian akan berdampak pada kebijakan pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah untuk perusahaan asing.
“Kebijakan PBJ sebaiknya tetap memprioritaskan pada produsen dalam negeri. Khususnya fokus pada kemampuan UMKM untuk memenuhi kuota 40%,” pungkas LPEM UI.