STRATEGIC ASSESSMENT. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur seluruh sendi-sendi pers Indonesia. Bahkan dalam undang-undang tersebut sudah mengamanatkan dalam Bab V Pasal 15 ayat 1 berbunyi “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.
Pada Pasal 2, Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsim yakni, pertama, melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, kedua, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, ketiga, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, keempat, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, kelima, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah, keenam, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, dan fungsi ketujuh adalah mendata perusahaan pers.
Dewan Pers memiliki kewenangan mengatur organisasi pers, yakni organisasi wartawan, dan organisasi perusahaan pers. Dimana, organisasi wartawan merupakan wadah tempat bernaungnya wartawan. Organisasi wartawan yang menjadi konstituennya Dewan Pers saat ini, adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).
Sedangkan organisasi perusahaan pers yang menjadi konstituen Dewan Pers, yakni Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Serikat Perusahaan Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI).
Dalam memantau ataupun melakukan pengawasan terhadap organisasi pers tersebut, Dewan Pers bersama organisasi wartawan, dan organisasi perusahaan pers menyepakati Kode Etik Jurnalistik yang dipakai sebagai rambu-rambu wartawan dalam menjalan profesinya.
Kode etik jurnalistik merupakan nilai dasar dalam bidang jurnalistik yang wajib diterapkan oleh wartawan untuk memproduksi berita. Kode etik tersebut merupakan etika profesi jurnalistik yang telah ditetapkan oleh dewan pers. Dengan demikian, kode etik jurnalistik berlaku untuk berita dalam media cetak, media elektronik, dan media online.
Dilansir dari arkademi.com, Kode etik jurnalistik di Indonesia baru lahir pada tahun 1947, lahirnya kode etik ini diketuai oleh seorang wartawan Bernama Tasrif. Isi dari kode etik ini pada saat itu merupakan terjemahan dari Canon of Journalism yang merupakan kode etik jurnalistik dari wartawan Amerika. Kemudian pada tahun 1968, dewan pers mengeluarkan keputusan No. 09/1968 tentang kode etik jurnalistik berdasarkan hasil rumusan “panitia tujuh”.
Pada tahun 1969, pemerintah menetapkan peraturan Menteri Penerangan No.02/Pers/MENPEN/1969 yang menegaskan seluruh wartawan wajib menjadi organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah. Lahirnya Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers telah memberikan kebebasan wartawan dalam memilih organisasi wartawan, sehingga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bukan hanya satu-satunya organisasi wartawan.
Kemudian pada tahun 2000 tepatnya tanggal 29 Juni, Kode Etik Wartawan Indonesia disahkan oleh Dewan Pers. Pada tahun 2006, Dewan Pers kemudian kembali melahirkan kode etik jurnalistik. Kode etik tersebut ditetapkan oleh Keputusan Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 dan diperkuat oleh Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008.
Kode etik ini berfungsi untuk menjaga standar kualitas wartawan dalam melakukan pekerjaannya secara profesional dan berita yang dirilis dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, kode etik ini juga dibuat untuk melindungi publik dari kemungkinan terjadinya hal negatif dari berita yang dirilis. Dengan adanya kode etik, diharapkan masyarakat dapat terlindungi dengan baik dan merasa aman karena hak mereka terlindungi.
Berikut ini Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers:
1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Dalam pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW), Kode Etik Jurnalistik merupakan mata uji penentu bagi peserta, baik jenjang muda, madya, hingga utama.
Kode Perilaku Wartawan
Lalu bagaimana dengan pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)?. Sebagai organisasi pers yang merupakan konstituen Dewan Pers, PWI harus tunduk serta patuh terhadap ketetapan peraturan-peraturan yang dibuat oleh Dewan Pers, dan juga Undang-Undang No. 40 Tahun 1999.
PWI salah satu organisasi pers di Tanah Air tentunya memiliki Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT). Dalam PD/PRT tersebut juga mengatur rumah tangga sendiri yang wajib dipatuhi oleh seluruh anggota PWI. Dalam menegakkan segala aturan dan menjalankan profesi kewartawanannya, diperlukan pedoman perilaku operasional yang jelas dan konkrit, sehingga tidak menimbulkan kebimbangan.
Pedoman perilaku ini juga menjadi acuan dan panduan dalam menjalankan tugas profesi di lapangan, dan dengan demikian dapat diketahui mana yang perlu dihindari dan mana yang justru perlu dilakukan, disertai sanksi yang jelas.
Pedoman perilaku wartawan ini sekaligus akan menjadi perisai pelindungan wartawan dalam menjalan tugas dan peranannya dari berbagai ancaman, gangguan dan rintangan pihak ketiga. Atas dasar itulah Kode Perilaku Wartawan disusun dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT) serta Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI.
Lalu, siapa yang memiliki peran untuk menjaga marwah/kehormatan organisasi, dan anggota? Tentunya Dewan Kehormatan PWI.
Tugas Dewan Kehormatan PWI hanya dua, yakni menjaga kehormatan wartawan atau merampas kehormatannya. Hal ini pernah diungkapkan Tri Agung Kristanto dalam suatu acara yang dilansir dari kupastuntas co.
Bagi anggota PWI yang tidak tunduk pada KEJ dan KPW, serta UU Pers, menjadi tugas Dewan Kehormatan untuk memberikan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Dengan demikian, jika ingin aman, dan profesional dalam menjalankan profesi sehari-hari. Wartawan wajib mematuhi KEJ, dan KPW PWI, termasuk UU No. 40/1999. *
*) Amril Jambak, penulis wartawan di Pekanbaru