STRATEGIC ASSESSMENT. Akhir-akhir ini publik sedang dihebohkan oleh berita tentang Pondok Pesantren Al-Zaitun pimpinan Panji Gumilang yang berlokasi di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Banyak pihak menilai Al-Zaytun dan Panji Gumilang telah menyimpang dari ajaran Islam. Berita heboh dimulai saat beredar video pelaksanaan Shalat Idul Fitri di Al-Zaytun yang memperlihatkan adanya sosok wanita di shaf paling depan yang sejajar dengan shaf laki-laki. Video lainnya memperlihatkan Panji Gumilang mengucapkan salam di hadapan jamaahnya dengan ucapan salam yang diduga khas Yahudi. Ada pula cuplikan video ceramah Panji Gumilang yang mengklaim bahwa al-Quran bukanlah firman Allah SWT, tetapi ucapan Nabi Muhammad saw. yang berasal dari wahyu Allah SWT. Klaim ini terkonfirmasi juga saat wawancara eksklusif Panji Gumilang dengan SCTV baru-baru ini. Selain itu, dari berita yang beredar, Al-Zaytun dan Panji Gumilang disinyalir terafilisasi dengan NII KW-9 yang juga dianggap gerakan yang menyimpang.
Aliran Sesat di Indonesia
Di Indonesia, aliran sesat memang cukup banyak bermunculan. Sebagian ada yang hilang, namun kemudian muncul lagi dengan nama baru. Berdasarkan catatan MUI pada tahun 2016 saja sudah ada lebih dari 300 aliran sesat di Indonesia (Cnnindonesia.com, 2/1/2016). Di antaranya yang sudah resmi difatwakan sesat oleh MUI adalah: Ahmadiyah yang mentahbiskan pendirinya (Mirza Ghulam Ahmad) sebagai nabi; Lia Eden atau Salamullah yang didirikan oleh Lia Aminuddin, yang mengaku pernah bertemu dengan Malaikat Jibril; Al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq yang mengaku sebagai nabi; Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dianggap meneruskan ajaran Al-Qiyadah al-Islamiyah; Kerajaan Ubur-ubur di Serang Banten; Puang Larang/Tarekat Tajul Khalwatiyah Syekh Yusuf Gowa. Adapun Al-Zaytun, meski sudah berdiri lebih dari 20 tahun, belum secara resmi dinyatakan sesat oleh MUI.
Pertanyaannya: apa kriterianya sebuah aliran dianggap sesat? Pada tahun 2007 MUI Pusat mengeluarkan rekomendasi/fatwa tentang 10 kriteria sebuah aliran dianggap sesat/menyimpang. Kesepuluh kriteria tersebut adalah: 1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6; 2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah; 3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; 4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran; 5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6. Mengingkari kedudukan Hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran Islam; 7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8. Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; 9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; 10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya (Republika.co.id, 26/10/2017).
Melindungi Akidah Umat
Salah satu peran negara yang paling utama dalam pandangan Islam adalah menjaga dan melindungi akidah/keyakinan umat Islam. Munculnya banyak aliran sesat di Indonesia jelas menunjukkan bahwa negara saat ini tidak hadir dalam menjaga dan melindungi akidah umat Islam. Padahal aliran-aliran sesat itu telah memakan banyak korban dari kalangan umat Islam. Mereka banyak yang akhirnya tersesat/menyimpang dari akidah Islam yang lurus, bahkan murtad dari Islam.
Mengapa negara terkesan tidak hadir untuk menjaga dan melindungi akidah umat Islam? Tidak lain karena negara saat ini menganut dan menerapkan akidah sekularisme. Sekularisme hakikatnya adalah akidah sesat. Pasalnya, sekularisme adalah akidah yang meyakini agama harus dipisahkan dari urusan negara. Dalam negara sekuler, negara tidak boleh campur-tangan dalam urusan keyakinan warga negaranya. Andai ada warga negara yang gonti-ganti agama/keyakinan, negara tak peduli. Negara pun tak akan peduli andai banyak Muslim yang murtad dari Islam, termasuk menganut aliran sesat.
Padahal dulu Rasulullah saw.—sebagai kepala negara—sangat tegas terhadap aliran yang menyimpang. Sebagaimana diketahui, dalam sejarah Islam, pernah muncul seorang yang mengklaim sebagai nabi (nabi palsu). Dia adalah Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah Sang Pendusta). Nama aslinya Musailamah bin Habib dari Bani Hanifah. Berbagai cara dilakukan Musailamah untuk mengukuhkan posisinya. Salah satunya mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad saw. Dalam surat itu, Musailamah meyakinkan bahwa dirinya adalah seorang nabi dan rasul Allah juga, sama seperti Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhamammad saw. kemudian mengirimkan surat balasan untuk Musailamah. Sebagaimana dikutip dalam Sirah Ibnu Ishaq, berikut surat balasan Nabi Muhammad saw.: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah sang Pendusta. Keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk (QS Thaha: 47). Sungguh bumi ini adalah milik Allah. Allah mewariskan bumi ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, 2/601).
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada akhir tahun ke-10 Hijrah. Namun demikian, balasan surat Nabi Muhammad saw. itu sedikitpun tidak mengubah keyakinan dan semangat Musailamah untuk menyebarkan ajarannya. Bahkan ‘dakwah’ Musailamah semakin aktif setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Akibatnya, propaganda yang disebarluaskan Musailamah itu mempengaruhi stabilitas pemerintahan Islam pasca Rasulullah saw., yakni pemerintahan Islam di bawah Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra. Karena itu di bawah komando Khalifah Abu Bakar ra., pasukan kaum Muslim kemudian menumpas Musailamah dan pengikutnya dalam Perang Yamamah (12 H) (Al-Mubarakfuri, Ar-Rahîq al-Makhtûm, hlm. 416).
Sebetulnya, selain Musailamah, di era pemerintahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin dan era setelahnya, masih banyak orang yang menyebarkan aliran sesat/menyimpang. Rata-rata mengklaim sebagai nabi. Mereka sebelumnya adalah Muslim, lalu menyimpang dari ajaran Islam. Disebutkan dalam Nihâyat al-‘Alam karya Muhammad al-‘Arifi bahwa selain Musailamah, ada beberapa nabi palsu yang hidup pada zaman Rasulullah saw. dan para khalifah sepeninggal beliau. Semuanya diperangi oleh negara, tentu setelah sebelumnya mereka diminta untuk bertobat dan kembali ke dalam pangkuan Islam, tetapi mereka menolak.
Sekularisme Pangkal Kesesatan
Sekularisme (akidah yang memisahkan agama dan kehidupan) yang dianut dan diterapkan di negeri ini sesungguhnya adalah pangkal kesesatan. Dari akidah ini lahir sistem demokrasi yang menjamin kebebasan (liberalisme). Di antaranya kebebasan beragama. Ini tidak ada masalah. Sebabnya, dalam Islam pun setiap orang bebas memeluk agama. Setiap orang tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Allah SWT berfirman:
لاَ إَكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ
Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Islam) (TQS al-Baqarah [2]: 256).
Masalahnya, dalam demokrasi, kebebasan beragama tak hanya dipahami sebagai kebebasan untuk memeluk agama tertentu. Namun faktanya, demokrasi juga menjamin kebebasan orang untuk gonta-ganti agama, termasuk murtad dari agama Islam. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah (HR al-Bukhari).
Demokrasi juga menjamin kebebasan bagi siapapun untuk menyelewengkan ajaran agamanya. Buktinya, munculnya ratusan aliran sesat, termasuk yang menistakan ajaran Islam, terkesan seolah dibiarkan. Belum lagi munculnya beragam pemikiran liberal yang juga sesat dan menyesatkan. Misalnya saja pemikiran tentang pluralisme agama, yang memandang semua agama sama. Juga pemikiran tentang toleransi beragama yang kebablasan, yang melahirkan sinkretisme (campur-aduk) agama seperti doa bersama lintas agama, dll. Semua seolah dibiarkan oleh negara atas nama demokrasi dan kebebasan.
Di sisi lain, sikap untuk berpegang teguh pada akidah Islam yang lurus, termasuk pada identitas Islam, keinginan untuk hidup diatur oleh syariah Islam secara kâffah, termasuk mengkaji dan mengajarkan ajaran Islam tentang Khilafah, acapkali dicap sebagai radikal, atau dikaitkan dengan radikalisme, bahkan dengan terorisme.
Alhasil, sekularisme yang melahirkan kebebasan (liberalisme) justru merupakan pangkal kesesatan.
Pentingnya Berpegang Teguh pada al-Quran dan as-Sunnah
Di antara dampak buruk sekularisme yang diterapkan di negeri ini adalah menjadikan banyak kaum Muslim tidak lagi berpegang teguh pada agamanya. Mereka tidak lagi berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah. Akibatnya, banyak kaum Muslim mudah tersesatkan dari agamanya. Padahal Rasulullah saw. telah menegaskan, saat berkhutbah pada Haji Wada’:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Wahai manusia, sungguh telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian suatu perkara yang jika kalian pegang teguh niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Berpegang teguh pada al-Quran bermakna menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup. Sikap ini meniscayakan antara lain: Pertama, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59). Kedua, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai standar halal-haram, benar-salah, dan baik-buruk. Artinya, yang wajib dijadikan tolok ukur adalah apa saja yang diputuskan dan dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunnah (Lihat: QS asy-Syura [42]: 10). Ketiga, mengamalkan seluruh kandungan al-Quran dan as-Sunnah dalam seluruh aspek kehidupan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (TQS Ali ‘Imran [3]: 85).