STRATEGIC ASSESSMENT. Salah satu isu nasional yang mengemuka akhir-akhir ini adalah seputar pro-kontra RUU Omnibus Law di bidang kesehatan (RUU Kesehatan) yang baru saja disetujui oleh DPR untuk dibahas bersama Pemerintah.
Pihak yang kontra menuding RUU Kesehatan tersebut sarat dengan liberalisasi dan kepentingan asing. Pihak yang kontra tersebut di antaranya IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan sejumlah organisasi profesi kesehatan lainnya, sebagian intelektual dan pengamat, juga masyarakat.
Adapun pihak yang pro tentu saja adalah DPR dan Pemerintah. DPR, misalnya, yang diwakili antara lain oleh Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (Panja RUU) Kesehatan Irma Suryani Chaniago, memastikan bahwa pihaknya akan mengawal pembahasan RUU tersebut (Dpr.go.id, 18/5/2023).
Akar Persoalan
Pro-kontra di seputar RUU Kesehatan di atas sebetulnya tidak menyentuh akar persoalan sesungguhnya. Akar persoalan sesungguhnya adalah Pemerintah selama ini telah melepaskan tanggung jawabnya atas jaminan layanan kesehatan masyarakat. Ini terutama sejak terbit UU terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yakni UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Sejak itu seluruh layanan kesehatan masyarakat berada di dalam naungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Berdasarkan kedua UU tersebut, pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berasal dari iuran rakyat yang mengikuti prinsip asuransi sosial yang sifatnya wajib. Dengan kata lain, BPJS Kesehatan hanyalah badan yang mengelola dana masyarakat dalam bentuk iuran wajib demi menyelenggarakan layanan kesehatan masyarakat. Artinya, masyarakat sendiri—bukan Pemerintah—yang menjamin layanan kesehatan untuk mereka. Pemerintah—yang seharusnya menjamin layanan kesehatan masyarakat—malah seolah lepas tangan. Ironisnya, sudahlah masyarakat harus membayar iuran BPJS, mereka tidak mendapatkan layanan kesehatan yang optimal. Bahkan sering para pasien BPJS harus antre, kadang sampai berhari-hari, untuk mendapatkan layanan kesehatan karena kurangnya dokter/nakes (tenaga kesehatan).
Liberalisasi Layanan Kesehatan
Menurut Asih dan Miroslaw dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN, “Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.” (Lihat: http://www.sjsn.menkokesra.go.id).
Jelas, inilah bentuk liberalisasi kesehatan. Liberalisasi layanan kesehatan memang sudah lama menjadi kesepakatan internasional. Pada tahun 2005 seluruh anggota WHO menandatangani sebuah resolusi soal Universal Health Coverage (UHC), yakni agar semua negara anggota mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat. Sistem pembiayaan dimaksud tidak lain adalah asuransi yang melibatkan perusahaan pelat merah dan milik swasta (kapitalis).
Ketentuan ini dinarasikan “penting” untuk memastikan akses yang adil untuk semua warga negara, untuk tindakan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau. Padahal sejatinya, selain kental kepentingan bisnis, penerapan prinsip asuransi dalam pembiayaan kesehatan masyarakat adalah bentuk lepas tanggung jawab negara atas rakyatnya. Bukan hanya lepas tanggung jawab, negara justru juga sedang memberikan ruang besar bagi para pemilik modal yang berbisnis di sektor asuransi kesehatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Belum lagi bisnis-bisnis sektor kesehatan lain yang semuanya serba menjanjikan, seperti bisnis fasilitas kesehatan, farmasi, alat kesehatan, jasa tenaga kesehatan, dan lain-lainnya. Wajar jika kesehatan dalam sistem sekarang menjadi perkara yang sangat mahal. Tidak semua rakyat bisa mengakses layanan kesehatan terbaik.
Karena itu istilah “jaminan kesehatan” sebetulnya istilah yang menipu. Pasalnya, yang ada bukan jaminan kesehatan, tetapi asuransi sosial kesehatan. Konsekuensinya, seluruh rakyat wajib membayar iuran/premi bulanan. Meski iuran untuk orang miskin dibayar oleh negara (sebagai Penerima Bantuan Iuran-PBI), hal itu tidak menghilangkan hakikat bahwa seluruh rakyat wajib membayar iuran bulanan. Jadi pada dasarnya JKN sama dengan asuransi pada umumnya. Peserta JKN, yakni seluruh rakyat, baru bisa mendapat pelayanan dari BPJS selama membayar iuran/premi bulanan. Jika tidak bayar, mereka tidak mendapat pelayanan. Jika nunggak membayar, mereka pun dikenai denda. Jika terus menunggak, pelayanan bisa dihentikan. Jadi dalam JKN, rakyat tidak dijamin layanan kesehatannya oleh Pemerintah, melainkan oleh diri mereka sendiri.
JKN pun menganut prinsip pemberian pelayanan berdasarkan kemampuan bayar peserta atau status ekonomi peserta. Prinsip ini merupakan watak komersial yang dianut oleh lembaga bisnis. Watak itu makin kental karena BPJS menghimpun dana rakyat untuk investasi. Atas nama SJSN dan JKN, ratusan triliun dana rakyat dihimpun oleh BPJS atas nama iuran/premi asuransi sosial yang bersifat wajib. Sebagian dana itu wajib diinvestasikan oleh BPJS. Pasalnya, sesuai UU SJSN dan BPJS, investasi dana asuransi sosial itu bersifat mandatori, artinya wajib, tentu dengan segala konsekuensi sebuah investasi.
Jaminan Kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya yang diperlukan oleh masyarakat. Sebabnya, fungsi negara/pemerintah adalah mengurus segala urusan dan kepentingan rakyatnya. Dalilnya adalah sabda Rasul saw.:
فَاْلإِماَمُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).
Nabi Muhammad saw. pun—dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara—pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (Hr Muslim).
Artinya, Rasulullah saw., yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).
Diriwayatkan pula bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Lalu mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara saat itu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola oleh Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka dibolehkan minum air susunya sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalil lainnya, dituturkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata, “Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku.” (HR al-Hakim, Al-Mustadrak, IV/7464).
Artinya, Khalifah Umar selaku kepala Negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, 2/143).
Nas-nas di atas merupakan dalil syariah yang sahih, bahwa dalam Islam jaminan layanan kesehatan itu wajib diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani, apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara.
Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki tiga sifat. Pertama: Berlaku umum tanpa diskriminasi, dalam arti tidak ada pengkelasan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim. Kedua: Bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara. Ketiga: Seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.
Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ
Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Dengan demikian negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta, maupun kepada rakyatnya sendiri.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya; dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur; dari hasil pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu dengan kualitas yang jauh lebih baik daripada yang berhasil dicapai saat ini di beberapa negara. Kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah (menyeluruh).
Alhasil, kita tidak dapat berharap lagi kepada negara yang tidak menerapkan syariah. Kita hanya bisa berharap pada negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah, yakni Khilafah Islamiyah. Khilafahlah model pemerintahan yang diamanahkan oleh Rasulullah saw. dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin.[]
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba dijadikan Allah sebagai pemimpin yang mengurusi rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya. (HR Muslim).