STRATEGIC ASSESSMENT. Bagi kaum Muslim, khususnya di negeri ini, Syawal identik dengan bulan silaturahmi; bulan saling mengunjungi; bahkan bulan saling berbagi. Singkatnya, Syawal—yang di dalamnya suasana Hari Raya Idul Fitri masih bisa dirasakan—adalah bulan yang biasa dijadikan momentum untuk merekatkan tali persaudaraan; baik antar keluarga/kerabat, antar kolega/teman, antar tetangga maupun antar sesama Muslim secara umum.
Sayang sekali, tahun-tahun belakangan ini, khususnya di negeri ini, persaudaraan antar umat Islam (ukhuwah islamiyyah) seolah mengalami keretakan. Kaum Muslim seperti mengalami keterbelahan. Bahkan sebagian mereka seakan-akan terus saling bermusuhan. Ini terjadi terutama sejak Pilpres 2014, Pilpres 2019 hingga menjelang Pilpres 2024 seperti saat ini. Julukan kadrun vs cebong masih kerap digunakan oleh masing-masing pihak pendukung capres yang berbeda. Julukan tersebut tentu sarat dengan nyinyiran dan penghinaan. Masing-masing pihak acapkali masih terus saling nyinyir dan saling mem-bully, terutama di media sosial, seperti twitter. Tudingan radikal-radikul, khilafah, anti Pancasila dan NKRI, dll acapkali dilontarkan oleh pendukung capres pilihan penguasa kepada pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan mereka.
Alhasil, spirit Idul Fitri yang identik dengan silaturahmi dan saling memaafkan satu sama lain, atau suasana lebaran yang penuh dengan kekeluargaan, keakraban dan persaudaraan, seolah tak berbekas sama sekali.
Di tambah lagi, tahun ini, hanya karena perbedaan hari lebaran, sebagian kaum Muslim saling menyalahkan. Bahkan ada yang memicu permusuhan hingga berujung ancaman pembunuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh salah seorang staf BRIN. Pemicunya adalah komentar seorang peneliti senior di BRIN yang cenderung menyalahkan pendapat pihak yang berbeda dengan pendapat dirinya dalam hal penentuan Idul Fitri. Padahal perbedaan Idul Fitri bukan kali ini saja terjadi. Sudah sering terjadi. Namun, selama ini tidak pernah ada masalah sama sekali.
Tentu sudah selayaknya kita merasa prihatin. Pasalnya, mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Sesama kaum Muslim itu bersaudara. Sesama saudara itu sejatinya harus saling menghormati dan menyayangi. Bahkan seharusnya saling menjaga dan melindungi. Bukan saling menghina dan merendahkan. Apalagi saling mem-bully dan mencaci-maki. Hal ini tentu terlepas dari adanya perbedaan pilihan politik masing-masing pihak. Apalagi sekadar adanya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furû’iyyah yang memang dibolehkan.
Wajib Memelihara Ukhuwah Islamiyah
Umat Islam harus menyadari bahwa memelihara ukhuwah islamiyah adalah wajib. Karena itu lalai atau bahkan merusak jalinan ukhuwah islamiyah adalah dosa, sebagaimana meninggalkan bentuk kewajiban-kewajiban yang lain. Kewajiban ini didasarkan pada dalil al-Quran maupun as-Sunnah.
Pertama: Dalil al-Quran. Di antaranya adalah firman Allah SWT berikut:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah saudara-saudara kalian dan bertakwalah kalian kepada Allah agar kalian mendapatkan rahmat (TQS al-Hujurat [49]: 10).
Dari ayat di atas tersurat bahwa siapapun, asalkan Mukmin, adalah bersaudara. Sebabnya, dasar ukhuwah (persaudaraan) adalah kesamaan akidah. Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab (Lihat: Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, 8/111).
Ayat ini diawali dengan kata innamâ yang mengandung makna hasyr (pembatasan). Artinya, tidak ada persaudaraan kecuali antar sesama Mukmin (Lihat: Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, 27/239).
Ini mengisyaratkan bahwa ukhuwah islamiyah lebih kuat daripada persaudaraan nasab. Persaudaraan nasab bisa terputus karena perbedaan agama. Sebaliknya, ukhuwah islamiyah tidak terputus karena perbedaan nasab (Lihat: Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 8/212).
Karena bersaudara, normal dan alaminya kehidupan mereka diliputi oleh kecintaan, perdamaian dan persatuan. Jika terjadi sengketa dan peperangan di antara mereka, itu adalah penyimpangan. Penyimpangan ini harus segera dikembalikan ke keadaan normal dengan meng-ishlâh-kan mereka yang bersengketa, yakni mengajak mereka untuk mencari solusinya pada hukum Allah dan Rasul-Nya (al-Quran dan as-Sunnah) (Lihat: Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 8/529).
Artinya, sengketa itu harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Allah, yakni ber-tahkîm pada syariah. Dengan begitu mereka akan mendapat rahmat-Nya.
Karena itu tentu aneh jika ajakan untuk menegakkan syariah Islam malah dituding memecah-belah. Padahal justru karena kaum Muslim jauh dari syariah—sebagaimana saat ini—mereka rawan berpecah-belah, bahkan saling bermusuhan. Karena itulah Allah SWT berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah-belah… (TQS Ali Imran [3]: 103).
Menurut Imam Ibnu Katsir, tali Allah (habl Allâh) adalah al-Quran. Siapapun yang berpegang teguh pada al-Quran berarti berjalan di atas jalan lurus. Ayat tersebut merupakan perintah Allah SWT kepada mereka untuk berpegang pada al-jamâ‘ah dan melarang mereka dari tafarruq (berpecah-belah) (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, I/477).
Dari sini terang sekali bahwa keterpecahbelahan tersebut disebabkan karena Islam tidak dijadikan sebagai pegangan dalam mengatur kehidupan. Inilah yang terjadi saat ini saat sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) dijadikan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di negeri ini.
Adapun frasa jangan berpecah-belah, menurut Imam al-Qurthubi, maksudnya adalah jangan berselisih dalam agama sebagaimana yang terjadi di kalangan kaum Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka. Frasa tersebut juga bisa bermakna: jangan bergolong-golongan mengikuti hawa nafsu dengan berbagai macam tujuan duniawi (Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/159).
Kedua: Dalil as-Sunnah. Rasulullah saw. bersabda:
«اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا»
Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan. Sebagian menguatkan sebagian lainnya. (HR Bukhari).
Beliau juga bersabda:
«لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا …»
Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai… (HR Muslim).
Ibnu Umar ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya): “Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak menzalimi dan menyerahkan saudaranya kepada musuh.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu banyak hadis yang menyebut bentuk-bentuk praktis dari manifestasi ukhuwah islamiyah di antara sesama Muslim secara individual. Di antaranya adalah: larangan meng-ghîbah, memfitnah, memata-matai (tajassus), membuka aib dan menipu sesama Muslim; larangan berdusta dan kikir kepadanya; larangan menghina, mencela, melanggar kehormatan dan membunuh sesama Muslim; dll.
Sebaliknya, banyak hadis yang justru mendorong seorang Muslim bersikap lemah-lembut terhadap sesama Muslim, bersahabat, berkasih sayang, saling mengucapkan salam dan berjabatan tangan, saling memberikan hadiah, saling mengunjungi, dll.
Dalam tataran yang lebih luas secara sosial, banyak hadis yang melarang kaum Muslim untuk menyerukan perpecahan atas dasar ‘ashabiyah. Di antaranya sabda Nabi saw. berikut:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ»
Tidak termasuk golongan kami orang yang menyerukan ‘ashabiyah. Tidak termasuk golong kami orang yang berperang atas dasar ‘ashabiyah. Juga tidak termasuk golongan kami orang yang mati di atas dasar ‘ashabiyah (HR Abu Dawud).
Wajib Bersatu
Jelas, kaum Muslim bukan saja wajib memelihara ukhuwah islamiyah. Mereka pun wajib bersatu atas dasar akidah Islam dan haram berpecah-belah. Agar kaum Muslim bersatu dan tidak berpecah-belah, Allah SWT menegaskan:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Yang diperintahkan ini adalah jalanku yang lurus. Karena itu, ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu bakal mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian adalah diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa (TQS al-An‘am [6]: 153).
Ayat di atas dengan terang menunjukkan bahwa jika umat Islam tidak benar-benar mengikuti jalan Islam (baca: syariah Islam), malah mengikuti jalan-jalan yang bertolak belakang dengan Islam, niscaya mereka akan tercerai-berai dari jalan Allah SWT. Itulah sebetulnya yang—disadari atau tidak—dialami kaum Muslim saat ini saat mereka meninggalkan dan mencampakkan syariah Islam.
Karena itu mari kita rekatkan kembali ukhuwah (persaudaraan), kuatkan kembali wihdah (persatuan) dan eratkan kembali mahabbah (saling cinta). Dengan itu niscaya akan lahir al-quwwah (kekuatan). Dengan itu kita secara bersama-sama akan mampu meraih ‘izzah (kemuliaan) di dunia dan akhirat.
Alhasil, saatnya kita hidup di bawah naungan Panji Lâ ilâha ilalLâh Muhammad RasululLâh saw. Bukan di bawah naungan panji-panji ‘ashabiyah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (TQS Ali Imran [3]: 105). []