STRATEGIC ASSESSMENT. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana bilang, ada oknum di Kemenkeu yang menggunakan perusahaan cangkang sebagai alat pencucian uang. Bahkan, satu oknum bisa memiliki lima hingga delapan perusahaan cangkang.
Diduga, tindak pidana pencucian uang ini melibatkan 461 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 11 ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 non-ASN. Ivan mengatakan, dugaan TPPU dengan modus perusahaan cangkang tersebut sudah dilaporkan PPATK ke Kemenkeu, berikut nama oknum dan daftar perusahaan cangkangnya. “Alasan kenapa PPATK memberikan data oknum plus nama perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oleh oknum. Sehingga, ini enggak bisa dikeluarkan, data perusahaan tadi enggak bisa dipisahkan dari oknum tadi,” jelasnya. Lebih lanjut, kata Ivan, hitungan inilah yang menyebabkan adanya perbedaan data transaksi mencurigakan antara yang disampaikan PPATK dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Jika dihitung dugaan TPPU satu oknum berikut perusahaan cangkang yang ia miliki, didapati angka transaksi mencurigakan senilai Rp 35 triliun sebagaimana yang dijelaskan PPATK.
Namun, jika penghitungan hanya dilakukan terhadap oknum tanpa menghitung dugaan TPPU di perusahaan cangkang, nominal transaksi janggal “hanya” sebesar Rp 3,3 triliun seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani. “Kami masukkan nama-nama perusahaan, berikut nama oknum, di situlah ketemu Rp 35 triliun,” kata Ivan. “Kalau (perusahaan cangkang) dikeluarkan memang Rp 22 triliun, kalau dikeluarkan lagi memang cuma Rp 3,3 triliun,” tuturnya.