STRATEGIC ASSESSMENT. Dunia masa depan akan hiruk-pikuk dengan kompetisi keunggulan bangsa dan negara. Tepatnya, keunggulan daya saing (competitiveness). Sangat jelas, persaingan akan semakin ketat.
Ketahanan energi dan ketahanan pangan menjadi ukuran apakah sebuah negara bisa bertahan atau tidak, diperhitungkan atau tidak. Di atas itu semua, kekuatan militer menjadi faktor penting.
Bagaimana dengan Indonesia? Akankah cukup kuat bertarung untuk membangun ketahanan energi, ketahanan pangan dan ketahanan militer? Apakah bangsa ini akan diperhitungkan di pentas internasional atau tidak?
Semua ini sangat tergantung pada daya saing (competitiveness). Indikator atau faktornya banyak sekali. Termasuk dan terutama daya saing ekonomi, inovasi, teknologi digital, infrastruktur saintifik, infrastruktur teknologi, kesiapan adaptasi (readiness), pendidikan umum, talent (kemahiran), dlsb.
Sekadar observasi, kelihatannya Indonesia masih jauh dari posisi mampu berkompetisi yang berbasis faktor-faktor di atas. Dan di sini hanya beberapa faktor saja yang disebutkan.
Ada survei menarik yang dilakukan oleh Institute of Management Development (IMD) yang bermarkas di Lausanne, Swiss. IMD membuat peringkat daya saing 63 negara yang mereka survei, termasuk Indonesia, untuk 2022. Ada juga Singapura, Malaysia, Filipina, Amerika Serikat, Denmark, Inggris, Bostwana, Peru, Kazakhstan, dst.
Ada tiga klaster peringkat daya saing yang ditetapkan oleh IMD. Yaitu, (1)Competitiveness Ranking (CR=Peringkat Daya Saing) dengan 20 faktor, (2)Digital Competitiveness Ranking (DCR=Peringkat Daya Saing Digital) dengan 9 faktor, dan (3)Talent Ranking (TR=Peringkat Bakat/Kepintaran) dengan 3 faktor.
Untuk CR, Indonesia berada di urutan ke-44 dari 63. Untuk peringkat DCR di posisi 51, dan TR di urutan 51.
Sulit dipercaya bahwa Kazakhstan lebih baik dari Indonesia. Untuk CR, Kazakhstan berada di peringkat 43, DCR 36, dan TR 39.
Lebih spesifik lagi, peringkat pendidikan umum Kazakhstan berada di posisi 41 sedangkan Indonesia di posisi 58. Untuk pendidikan dan latihan (diklat) DCR, Kazakhstan berada di posisi 1, sedangkan Indonesia di posisi 62. Luar biasa jomplang. Mengapa Kazakhstan? Karena ada asumsi umum bahwa negara Asia Tengah ini terbelakang, tertindas, tidak pintar, dll.
Yang juga cukup mengejutkan adalah TR Indonesia. Di klaster ini ada 3 fakror yaitu investasi dan pengembangan (investment & development), daya tarik (appeal), dan kesiapan (readiness) beradaptasi. Untuk investasi & pengembangan, Indonesia berada di posisi 53; daya tarik di posisi 37; kesiapan beradaptasi di posisi 52.
Bandingkan dengan Kazakhstan yang masing-masing berada di posisi 30, 41, dan 44. Jangan badingkan dengan posisi Malaysia. Sangat jauh. Apalagi Singapura, terlalu jauh.
Untuk perdagangan internasional (international trade), Malaysia berada di peringkat 23, Indonesia 51. Untuk infrastruktur teknologi, Malaysia di peringkat 20, Indonesia 49.
Namun, kita masih bisa bangga karena rata-rata peringkat Indonesia untuk seluruh bidang berada di atas semua negara Afrika dan Amerika Latin yang disurvei IMD. Pokoknya, Indonesia berada di atas Bostwana, Afrika Selatan, Kolombia, Chile, Brazil, Peru, Meksiko, Argentina, Venezuela, dsb. Di Asia, Indonesia berada di atas Filipina.
Nah, sekarang kita agak serius. Pantaskah Indonesia yang kaya-raya sumber alam itu berada dalam kondisi seperti ini? Dan mengapa Indonesia bisa berada di belakang Kazakhstan meskipun lebih baik dari Afrika dan Amerika Latin?
Sangat tidak pantas Indonesia ini seperti sekarang. Memalukan, menyedihkan, dan menjijikkan. Malu kepada tetangga, sedih pada diri sendiri, dan jijik melihat kelakuan para pemimpin.
Di mana-mana para pemimpin sibuk, tunggang-langgang, tak sempat istirahat memikirkan dan menyiapkan generasi masa depan yang tangguh. Para pemimpin di negara-negara lain mengerahkan semua sumberdaya untuk membangun rakyat, menguatkan daya saing bangsa dan negara.
Setiap hari mereka memikirkan dan menyusun kebijakan, regulasi, dan implementasi yang bertujuan untuk terus memberdayakan rakyat agar tumbuh menjadi bangsa yang kuat ekonomi dan kuat pertahanan. Agar menjadi bangsa yang bermartabat dan diperhitungkan.
Di Indonesia ini, setiap hari para penguasa, para pemimpin, sibuk menumpuk kekayaan dari pengurasan isi bumi, pengurasan emas, perak, tembaga, nikel, batubara, untuk disimpan duitnya di luar negeri agar anak-cucu mereka tetap kaya-raya dan bisa membeli rumah-rumah mewah di dalam dan luar negeri.
Para pejabat Kementerian Keuangan sibuk memainkan pajak, bea dan cukai, penetapan anggaran. Pejabat Direktoral Jenderal Pajak (DJP), Rafael Alun Trisambodo, bisa menumpuk uang ratusan miliar rupiah; bisa menyimpang mata uang asing sebesar 37 miliar di “safe deposit box” sebuah bank. Kepala Bea-Cukai Makassar Andhi Pramono punya kakayaan belasan miliar. Kemudian Kepala Bea-Cukai Yogyakarta Eko Darmanto juga punya kekayaan belasan miliar.
Beginilah kesibukan para pejabat dan pemimpin Indonesia. Mereka gunakan jabatan tinggi untuk menumpuk harta dengan cara mencuri, menggelapkan, merampok dsb.
Di mana-mana para pemimpin sibuk membangun kekuatan ekonomi rakyat, kekuatan pendidikan, kekuatan teknologi, kekuatan pertahanan, dlsb. Tapi di sini, para pemimpin sibuk membangun kekayaan korupsi sebesar mungkin.[]
Penulis adalah Jurnalis Senior Freedom News