STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mengadukan para pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). KAMMI menilai, para pimpinan KPU RI meremehkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang disidangkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sehingga mereka kalah dalam gugatan. PN Jakpus kemudian mengabulkan seluruh gugatan PRIMA, termasuk menghukum KPU mengulang sejak awal seluruh tahapan pemilu. Ini akan berimbas pada tertundanya Pemilu 2024.
“KPU sendiri meremehkan seolah-olah ini partai yang tidak lolos verifikasi bakal ditolak di PN. Sejak awal dia sudah punya stigma tidak baik terhadap proses penegakan hukum,” kata Kepala Bidang Polhukam PP KAMMI, Rizki Agus Saputra, ditemui wartawan setelah menyerahkan aduan ke kesekretariatan DKPP.
KAMMI menilai, para pimpinan KPU RI melanggar kode etik Pasal 15 huruf a Peraturan DKPP tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum. Aturan itu berbunyi “Dalam melaksanakan prinsip profesionalitas. penyelenggara bersikap dan bertindak memelihara dan menjaga kehormatan lembaga.” “Kami laporkan bahwa mereka menganggap remeh dan implikasinya terganggunya kehormatan KPU,” ujar Rizki.
Ia menilai, ada indikasi kurangnya respons dan kesiapan untuk melawan serangan yang ditujukan kepada KPU RI. Salah satunya, KPU RI sama sekali tidak mengirim pengacara dalam rangka persidangan di PN Jakpus. Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari hanya memberi kuasa kepada 43 komisioner dan pegawai KPU RI untuk bicara.
KPU RI juga tidak mengirim saksi dalam rangkaian persidangan, sedangkan PRIMA mengirim dua saksi yang keterangannya dipertimbangkan majelis hakim. KPU RI dianggap baru memberikan reaksi yang patut ketika mereka kalah dalam gugatan perdata di PN Jakpus. “Atas dasar pertimbangan di atas, KAMMI meminta DKPP untuk mengevaluasi Ketua KPU RI beserta anggotanya, apabila terbukti melanggar kode etik maka harus diberhentikan,” kata Rizki.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal penundaan Pemilu 2024 telah melanggar hak konstitusi warga negara. Selain itu, putusan itu juga berpotensi mengakibatkan ketidakstabilan politik.
“Putusan itu berpotensi melanggar hak konstitusi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya secara reguler setiap 5 tahun sekali,” kata Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi di Jakarta, Selasa, 7 Maret 2023.
Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu mengatakan hak konstitusi warga negara untuk melakukan pemilihan 5 tahun sekali sudah diatur dalam konstitusi. Dengan adanya putusan itu, kata dia, hak konstitusi warga negara tersebut berpotensi terabaikan.
Sedangkan, legalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pemilu yang dikeluarkan pemerintah dipertanyakan. Pasalnya, Perppu untuk mengatur sejumlah hal terkait pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 ini ternyata tidak disahkan DPR.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menuturkan, Perppu No 1/2022 Tentang Pemilu ini ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 12 Desember 2022. Namun setelah itu, tidak ada pengesahan oleh DPR hingga beberapa kali masa sidang.
“Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tidak mendapatkan persetujuan DPR pada persidangan yang berikut. Maka menjadi gugur pemberlakuannya,” ujar Titi dalam akun Instagram pribadinya yang dikutip Kantor Berita Politik RMOL.
Titi mengurai, tidak berlakunya Perppu Pemilu disebabkan DPR tak kunjung mengesahkan pada masa persidangan yang telah berakhir pada pertengahan Februari kemarin.
“Sampai dengan masa persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 yang dimulai pada 10 Januari hingga 16 Februari 2023, DPR tidak memberikan persetujuan,” sambungnya.
Maka dari itu, Titi mempertanyakan alasan DPR tidak melakukan pengesahan terhadap Perppu Pemilu. Mengingat peraturan perundang-undangan ini dibutuhkan untuk menutup kekosongan hukum yang ada di UU No 7/2017 tentang Pemilu.
“Pertanyaan saya, bagaimana bisa sampai-sampai DPR tidak memberikan persetujuan atas Perppu No 1/2022 tentang Pemilu hingga masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 pada 16 Februari 2023, sengaja atau lupa?” demikian Titi (Red/berbagai sumber)