STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad Tio Aliansyah mempertanyakan alasan Muhammad Fauzan Irvan mengajukan pencabutan laporan dugaan pelanggaran etik Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Pertanyaan itu ia sampaikan setelah Fauzan mengajukan permohonan pencabutan laporan di sidang hari ini. Tio meminta Fauzan menjelaskan alasan pencabutan tersebut. “Pertanyaan saya sederhana ini. Setelah bertabayun, mendapat informasi jelas, kemudian mencabut, apa karena ada desakan?” kata Tio dalam sidang etik nomor 14-PKE-DKPP/II/2023 di Kantor DKPP, Jakarta.
Fauzan–Direktur Eksekutif Nasional Progressive Democracy Watch (Prodewa)–menegaskan tak ada desakan dari pihak mana pun. Dia berkata pencabutan laporan dilakukan setelah Prodewa dan mendengarkan langsung klarifikasi Hasyim
Hasyim juga membantah mendesak Fauzan untuk mencabut laporan. Dia berkata pertemuan dengan Prodewa hanya untuk mengklarifikasi pernyataan mengenai sistem proporsional tertutup.
Saat itu, ucapnya, Prodewa mengontak via pesan singkat. Prodewa meminta bertemu Hasyim untuk mendengar klarifikasi tentang pernyataan itu. “Kalau ada pertanyaan ini inisiatif pengadu sendiri atau karena terpengaruh pihak lain, dalam hal ini apakah dari pihak teradu, sepengetahuan saya pihak pengadu yang mendahului mengontak untuk bersilaturahmi dan berdiskusi,” ujarnya.
DKPP menerima surat permohonan Fauzan untuk mencabut aduan. Namun, DKPP tetap melanjutkan sidang etik sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sebelumnya, Hasyim dilaporkan ke DKPP atas pernyataan tentang sistem proporsional tertutup. Ia diduga melanggar kode etik karena menyampaikan dukungan terhadap gugatan sistem pemilu.
“Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” ucap Hasyim pada acara Catatan Akhir Tahun 2022 di Kantor KPU RI.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) setelah lima tahun keluar penjara. Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan putusan itu sesuai dengan putusan MK sebelumnya mengenai pencalonan anggota DPR dan DPRD.
“Dengan demikian, memudahkan KPU dalam merumuskan norma dalam PKPU Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota karena berdasarkan putusan MK tersebut dan putusan terdahulu terdapat perlakuan setara,” kata Hasyim melalui keterangan tertulis.
KPU akan merancang peraturan baru untuk pencalonan anggota legislatif Pemilu 2024. Aturan itu akan digunakan saat KPU melayani pendaftaran caleg, termasuk caleg DPD, pada pertengahan tahun ini. “Pendaftaran caleg DPD akan dibuka bulan Mei 2023,” ucap Hasyim.
Sebelumnya, MK menyatakan mantan narapidana boleh mencalonkan diri sebagai caleg DPD lima tahun setelah keluar penjara. Hal itu dituangkan dalam putusan nomor 12/PUU-XIX/2023. Putusan itu dibuat atas gugatan uji materi pasal 182 huruf g UU Pemilu yang dilayangkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Pasal tersebut pun diubah menjadi:
(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana
(iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Sementara, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi atas pasal yang meringankan sanksi terhadap koruptor pada Pasal 603 KUHP. Gugatan itu teregistrasi pada perkara Nomor 10/PUU-XXI/2023. Bertindak sebagai pemohon 20 orang yang memberi kuasa kepada Zico LDS dan Dixon Sanjaya.
“Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan, Selasa (28/2). MK menilai hak konstitusional 20 orang mahasiswa selaku pemohon itu belum berkaitan dengan pasal-pasal KUHP yang digugat. Pasal itu dianggap belum menimbulkan “kerugian konstitusional” kepada pemohon, baik kerugian secara potensial (di masa depan) maupun aktual (saat ini).
Penilaian itu berdasarkan anggapan “‘kerugian konstitusional’ yang dimaksud dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007. Hakim Konstitusi turut berkesimpulan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
“Mahkamah berkesimpulan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Anwar Usman.
Dalam gugatannya, para pemohon mendalilkan norma pada pasal itu merupakan pelemahan yang disengaja oleh pembentukan UU. Mereka beranggapan, itu juga sebagai kerugian konstitusional para pemohon dengan nihilnya keterbukaan dalam pembentukannya.
“Menurut para pemohon merupakan pelemahan yang disengaja oleh pembentukan UU a quo adalah bentuk kerugian konstitusional para pemohon yaitu berupa tidak adanya keterbukaan dalam pembentukan undang-undang,” kata Hakim Suhartoyo.
Sebelumnya, klausul pada pasal 603 KUHP semakin meringankan jumlah hukuman koruptor.
Pasal itu menurunkan ancaman minimal penjara di UU Tipikor yang sebelumnya minimal empat tahun menjadi hanya dua tahun.
Tak hanya itu, hukuman denda koruptor yang sebelumnya minimal berjumlah Rp200 juta menjadi hanya Rp10 juta.
“Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,” bunyi pasal 603.
Berbagai kalangan yang ditemui Redaksi menyebutkan perkembangan politik nasional menjelang Pemilu 2024 ditandatai dengan fenomena-fenomena tidak masuk akal dan aneh (Red/berbagai sumber)