STRATEGIC ASSESSMENT. Tak terasa, kita sudah ada di penghujung tahun 2022. Tak lama lagi kita akan memasuki Tahun Baru 2023. Sudah selayaknya secara pribadi maupun secara kolektif kita semua melakukan muhâsabah (perhitungan) atas apa yang telah kita lakukan, khususnya dalam setahun terakhir ini.
Secara pribadi, muhâsabah memang diperintahkan oleh Allah SWT kepada setiap manusia. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah Mahatahu atas apa saja yang kalian kerjakan (TQS al-Hasyr [59]: 18).
Imam as-Sa’di dalam kitab tafsirnya menjelaskan, “Ayat ini adalah pangkal dalam hal muhâsabah diri. Setiap orang harus selalu mengevaluasi diri. Jika dia melihat adanya kekeliruan, dia segera melakukan koreksi dengan cara melepaskan diri dari kekeliruan tersebut. Dia segera bertobat secara sungguh-sungguh dan berpaling dari berbagai hal yang mengantarkan pada kekeliruan tersebut. Jika dia menilai dirinya banyak kekurangan dalam menunaikan perintah-perintah Allah, ia segera mengerahkan segala kemampuannya (agar bisa selalu taat, red.)..” (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, 1/853).
Tentang muhâsabah diri, Rasulullah saw. juga bersabda:
«الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلّ»
Orang yang cerdas ialah orang yang selalu mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Orang yang lemah (bodoh) ialah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan kepada Allah SWT (HR at-Tirmidzi).
Tentang pentingnya muhâsabah pula, Imam Hasan al-Bashri pernah menyatakan, “Sungguh seorang Mukmin yang menjaga dirinya sendiri akan selalu melakukan muhasabah karena Allah SWT. Sungguh akan terasa ringan penghisaban Allah SWT atas suatu kaum yang biasa menghisab diri mereka saat di dunia.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah I/356).
Dengan muhâsabah diri seorang Muslim tentu akan menyadari dosa-dosanya. Saat ia menyadari betapa banyak dosa-dosanya, ia akan terdorong untuk segera bertobat kepada Allah SWT dengan cara banyak ber-istighfar (memohon ampunan-Nya), menyesal sedalam-dalamnya atas dosa-dosanya yang telah lalu, sekaligus bertekad sekuat tenaga untuk meninggalkan dosa-dosa yang pernah ia lakukan itu. Setelah itu ia pun hanya akan lebih banyak melakukan amal-amal kebaikan.
Karena itu wajar jika seorang ulama besar, Harits bin Asad al-Muhasibi, pernah menyatakan, “Pangkal ketaatan adalah sikap wara’. Pangkal sikap wara’ adalah takwa. Pangkal takwa adalah muhâsabah diri.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, IV/282).
Muhâsabah atas Kondisi Umat
Adapun secara kolektif, muhâsabah seharusnya juga dilakukan oleh seluruh komponen bangsa ini atas kondisi negeri mereka saat ini. Pasalnya, setidaknya dalam setahun terakhir ini, kondisi negeri ini seperti jalan di tempat. Berbagai keterpurukan masih dialami dan dirasakan oleh bangsa ini. Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Angka kriminalitas masih terus meningkat. Bahkan ada yang dilakukan oleh aparat. Contohnya kasus pembunuhan sadis oleh Sambo. Contoh lainnya adalah kasus narkoba dan judi online yang bernilai triliunan rupiah, yang di antaranya juga melibatkan sejumlah oknum aparat.
Kasus korupsi makin menjadi-jadi. Penistaan agama (Islam) juga makin marak. Ironisnya, para pelakunya sering dibiarkan begitu saja tanpa ditindak. Kerusakan moral pun makin brutal. Salah satu contohnya adalah makin marak dan terbukanya fenomena LGBT di berbagai daerah. Kasus terorisme, yang dilakukan oleh OPM di Papua, juga makin sadis. Sudah menewaskan ratusan orang. Di antara korbannya bahkan aparat keamanan.
Mafia impor masih banyak bercokol. Mafia hukum dan perundang-undangan masih bergentayangan. Setelah berhasil meloloskan UU Omnibus Law yang lebih berpihak pada pemilik modal dan oligarki ketimbang berpihak kepada rakyat, mereka pun berhasil mengesahkan KUHP baru yang juga sarat dengan sejumlah pasal yang bermasalah. Salah satunya adalah pasal-pasal yang bisa membuka peluang rezim untuk bertindak makin otoriter.
Mafia peradilan juga makin terang-terangan. Bagaimana, misalnya, ada ulama divonis berat dengan tuduhan terlibat tindakan terorisme yang tidak pernah terbukti di pengadilan. Sebaliknya, banyak koruptor yang nyata-nyata merugikan negara triliunan rupiah dihukum seringan-ringannya.
Mafia politik yang dikendalikan oleh oligarki juga makin tak terkendali. Mereka, misalnya, terus memainkan cara-cara kotor untuk menjegal pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan rezim dan bisa mengancam kepentingan oligarki. Contoh kasus adalah bagaimana indikasi kecurangan KPU yang disoal oleh sejumlah pihak baru-baru ini justru telah mulai dilakukan di tahap awal verifikasi parpol.
Semua persoalan di atas dan masih banyak persoalan lain yang melanda bangsa dan negeri ini seharusnya memunculkan pertanyaan: Mengapa semua itu terjadi dan terus-menerus melanda bangsa dan negeri ini? Apa akar persoalannya? Apa pula solusinya yang mendasar dan total?
Jawabannya: Sesungguhnya pangkal dari segala bencana, keterpurukan dan kerusakan yang melanda bangsa dan negeri ini adalah akibat dosa, kemaksiatan dan pembangkangan kita kepada Allah SWT. Allah SWT telah berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Imam Ali ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya, Shafwah at-Tafâsîr, menjelaskan maksud ayat di atas, yakni telah tampak musibah dan bencana di permukaan bumi dan di laut disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa-dosa manusia kepada Allah SWT.
Di negeri yang mayoritas Muslim ini bukan saja terjadi pembangkangan terhadap hukum-hukum Allah SWT. Bahkan syariah-Nya kerap distigmatisasi. Semangat dakwah untuk menegakkan agama-Nya justru dilabeli radikal dan dipandang sebagai ancaman.
Dalam paham keagamaan, umat malah terus disodori seruan moderasi beragama. Moderasi beragama diklaim dan dipropagandakan sebagai cara beragama dan berislam yang terbaik. Lawan dari radikalisme/ekstremisme. Padahal inti dari moderasi beragama adalah semangat untuk menyembelih ajaran Islam. Namun, untuk mengelabui umat, upaya ini dikemas dengan sebutan yang sepintas islami, yakni Islam moderat atau Islam wasathiyyah. Padahal istilah dan ajaran ini bukan berasal dari Islam. Juga tidak pernah digunakan oleh para ulama dulu. Tentu karena paham moderasi beragama murni berasal dari Barat untuk melumpuhkan ajaran Islam.
Dengan dalih moderasi beragama, para pembuat kebijakan, dibantu tokoh-tokoh agama, merasa berhak menentukan ajaran Islam yang harus dibuang dan yang tetap dipertahankan. Dengan arahan Barat, hukum-hukum Islam yang bertentangan dengan prinsip sekularisme, pluralisme, liberalisme dan demokrasi harus ditiadakan. Sebutan kafir, misalnya, coba ditiadakan karena dianggap bertentangan dengan ajaran pluralisme.
Umat juga terus dicekoki dengan monsterisasi terhadap ajaran khilafah dan jihad. Potret-potret peperangan di Dunia Islam seperti Suriah, atau ISIS di Irak, sering di-framing sebagai akibat dari seruan menegakkan khilafah dan jihad. Penipuan ini terus dilakukan terhadap umat yang tidak paham konstelasi politik di negeri-negeri Muslim. Padahal sebenarnya beragam perang dan konflik yang terjadi sengaja dipicu oleh negara-negara penjajah, seperti AS, Inggris dan Rusia. Itu adalah di antara strategi mereka untuk melanggengkan hegemoni dan merampok kekayaan alam umat Islam dengan menciptakan kondisi yang tak pernah stabil di kawasan tersebut.
Islam Satu-satunya Solusi
Pertanyaannya: Apa solusinya? Satu-satunya solusi yang benar, mendasar dan total adalah dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah. Keimanan kita pada Islam tentu mengharuskan kita taat secara total pada syariah-Nya. Janganlah kita mengulangi kesalahan yang sama dengan tetap mempercayai sistem kehidupan selain Islam. Jika kita tetap berkubang dalam sistem kehidupan selain Islam, tentu kita akan terus terpuruk dan tidak akan pernah bisa bangkit kembali. Sebabnya, kebangkitan dari segala keterpurukan hanyalah dengan cara kita kembali pada Islam dan totalitas syariahnya. Kita harus menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan hidup kita dalam semua aspek kehidupan kita. Semua ini sebagai perwujudan takwa kita kepada Allah SWT. Takwa inilah yang akan menjadikan kita mendapatkan ragam keberkahan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu Kami menghukum mereka karena tindakan yang mereka lakukan itu (TQS al-A’raf [7]: 96).
WalLâhu a’lam. []
Hikmah:
Umar bin al-Khaththab ra. berkata:
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا، وَزِنُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا فَإِنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ فِي الْحِسَابِ غَدّاً
Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah amal kalian sebelum ditimbang. Hal itu akan lebih memudahkan hisab kalian kelak (di akhirat). (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 1/25). []