STRATEGIC ASSESSMENT. Iman bukan sekadar pengakuan dan klaim. Iman menuntut pembuktian. Allah SWT berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasakan dalam hati mereka keberatan atas keputusan hukum apapun yang kamu berikan, dan mereka menerima (keputusan hukum tersebut) dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Berdasarkan ayat ini, menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam At-Tafsîr al-Munîr, agar orang beriman dengan iman yang haqq (benar) harus terpenuhi tiga sifat: Pertama, dia menjadikan Rasul saw. sebagai pemutus hukum dalam semua perkara. Sebabnya, apa saja yang Rasul saw. putuskan pasti benar sehingga wajib dipatuhi secara lahir dan batin. Kedua, tidak ada keberatan dalam dirinya atas apa pun yang Rasul saw. putuskan. Jiwanya mengikuti keputusan hukum Rasul saw. disertai dengan keridhaan yang sempurna, penerimaan mutlak dan tidak membenci. Ketiga, ia patuh sepenuhnya dan menerima (keputusan hukum) secara total tanpa keberatan, pembelaan atau penyelisihan.
Menjadikan Rasul saw. sebagai hakim sepeninggal beliau adalah dengan menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pemutus hukum. Artinya, wajib menjadikan hukum-hukum Islam sebagai pemutus segala perkara yang terjadi.
Ketika Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberikan keputusan hukum, maka tidak ada pilihan (opsi) lain bagi manusia (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 36).
Ketika sudah ada keputusan Allah SWT dan Rasul saw., yakni ketika sudah ada hukum Islam, maka sikap seorang Mukmin adalah menerima dan patuh/taat (Lihat: QS an-Nur [24]: 51).
Itulah sikap yang harus ditunjukkan. Bukan malah mengambil hukum selain hukum Islam atau membuat hukum-hukum lain yang berasal dari pikiran dan hawa nafsu manusia.
KUHP yang baru disahkan itu dirancang untuk menggantikan KUHP warisan kolonial Belanda. Tentu banyak pihak berharap ketidakadilan, diskriminasi, otoritarianisme, mental kolonial dan lainnya yang menjadi dampak dari KUHP kolonial dapat dihilangkan. KUHP baru juga diharapkan dapat mengantarkan pada perwujudan masyarakat yang dipenuhi dengan keadilan, kebaikan, martabat dan kemuliaan. KUHP baru pun diharapkan dapat meminimalisasi kasus-kasus kriminal di masyarakat.
Namun, masyarakat harus siap-siap untuk kecewa. Berbagai harapan itu tampaknya tidak akan dapat terwujud. Banyak pihak masih mempermasalahkan KUHP yang sudah disahkan. Mereka menilai KUHP baru bukannya mengikis potensi otoritarianisme. Sebaliknya, ia malah makin membuka peluang dan potensi munculnya otoritarianisme baru. Mental pemerintah kolonial yang anti kritik berpeluang makin kokoh. Hal itu karena ada pasal yang mempidanakan penyebaran paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, penghinaan terhadap presiden, penghinaan terhadap pemerintah, penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, penghasutan melawan penguasa umum dan kriminalisasi demonstrasi. Di dalamnya ada ketentuan-ketentuan bersifat “karet” yang nantinya dapat dijadikan alat represif untuk membungkam suara kritis dari masyarakat.
Ada juga aturan yang mempidanakan penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Hal itu berpotensi menjadi alat untuk mempersempit kritik. Selama ini tanpa aturan yang bersifat pidana saja, banyak pihak merasa dipersulit untuk menyampaikan kritik melalui demonstrasi. Atas dasar itu, tidak jarang terjadi tindakan represif.
KUHP baru juga tidak memberikan sanksi terhadap pelaku LGBTQ+, apalagi mereka yang menyerukan dan menyebarkan LGBTQ+. Padahal LGBTQ+ mendatangkan bahaya bagi masyarakat.
Di dalam KUHP baru, mental kolonial, khususnya dalam hal hubungan penguasa dengan rakyat, masih dipelihara. KUHP baru juga masih memuat aturan-aturan yang pada hakikatnya tidak banyak berbeda dengan yang ada dalam KUHP warisan kolonial Belanda. Prinsip-prinsip hukum yang dianut juga masih banyak kesamaannya dengan warisan kolonial Belanda. Padahal sudah terbukti, penerapan hukum dan prinsip-prinsip hukum warisan kolonial itu tidak dapat mewujudkan keadilan dan rasa keadilan, juga terbukti gagal dalam memberantas tindak kejahatan. Pada akhirnya, masyarakat tidak terlindungi dari berbagai kriminalitas. Mereka pun belum merasakan keadilan dan rasa keadilan.
Sempurna dan Adil
Allah Yang Mahabijaksana dan Mahaadil telah menurunkan syariah-Nya kepada Rasul saw. untuk kita jadikan sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalani hidup dan mengelola kehidupan. Syariah Islam itu meliputi hukum-hukum yang mengatur semua perkara manusia. Hukum-hukum Islam itu telah sempurna karena berasal dari Allah Yang Mahasempurna. Allah SWT telah menegaskan di dalam al-Quran bahwa Islam, yang mencakup akidah dan syariah, telah Dia sempurnakan dan ridhai untuk manusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 3). Sesuai dengan pernyataan Allah SWT tersebut, hukum-hukum Islam, termasuk hukum-hukum pidana Islam, telah sempurna dan tidak mengandung kekurangan.
Hukum-hukum Islam juga paling baik dan paling adil. Sebabnya, hukum Islam berasal dari Allah Yang Mahaadil. Allah SWT tentu tidak akan zalim kepada hamba-hamba-Nya (Lihat: QS Ghafir [40]: 31). Bahkan Allah SWT tidak menghendaki kezaliman bukan hanya terhadap manusia, tetapi terhadap seluruh alam (Lihat: QS Ali Imran [3]: 108).
Allah SWT juga telah menegaskan bahwa risalah yang Rasul saw. bawa, yakni Islam dan syariahnya, adalah rahmatan lil ‘alamin (Lihat: QS al-Anbiya’ ]21]: 107). Islam adalah rahmatan lil ‘alamin karena pasti mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemadaratan dari umat manusia dan alam. Hukum-hukum Islam, misalnya, akan menjaga dan melindungi darah, harta, akal, kehormatan, jenis manusia dan agama.
Karena itu Allah SWT menyatakan keheranan, pengingkaran dan celaan terhadap siapa saja yang justru lebih menghendaki hukum-hukum selain Islam (hukum-hukum jahiliah) dan malah berpaling atau meninggalkan hukum-hukum Islam. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Al-Hasan berkata, “Siapa saja yang memutuskan hukum selain dengan hukum Allah SWT maka itulah hukum jahiliah.” (HR Ibnu Abi Hatim).
Terapkan Hukum Islam
Hukum pidana Islam tentu memberikan kemaslahatan di dunia dan akhirat. Sebabnya, hukum pidana Islam itu memiliki sifat jawâbir dan zawâjir. Bersifat jawâbir karena penerapan hukum pidana Islam akan menjadi penebus dosa bagi pelaku kriminal yang telah dijatuhi hukuman yang syar’i. Hukum pidana Islam juga bersifat zawâjir, yakni dapat memberikan efek jera bagi pelakunya dan membuat orang lain takut untuk melakukan tindakan kriminal serupa. Karena itu hukum pidana Islam akan memberikan jaminan kelangsungan hidup bagi masyarakat. Allah SWT berfirman:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dalam qishâsh itu ada jaminan kelangsungan hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 179).
Dengan hukum pidana Islam masyarakat akan terlindungi dari berbagai tindak kriminal. Keamanan dan rasa aman bagi semua orang akan terwujud. Jumlah pelaku tindak kriminal di masyarakat akan minimal. Penuh sesaknya penjara dan lembaga pemasyarakatan, seperti yang terjadi saat ini hampir di seluruh dunia, tidak akan terjadi saat hukum pidana Islam diterapkan.
Karena itu kebaikan dan keadilan hukum pidana Islam secara i’tiqâdi tidak boleh diragukan. Hal itu merupakan bagian dari perkara yang harus kita imani. Secara faktual, kebaikan dan keadilan hukum pidana Islam juga telah pernah dirasakan bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh non-Muslim, yakni ketika hukum-hukum Islam diterapkan secara riil. Namun sayang, saat ini hal itu tidak ada dan tidak dirasakan lagi.
Tentu kita berkewajiban untuk patuh, taat dan terikat pada hukum-hukum Islam. Hal itu kita wujudkan dengan mempedomani dan menerapkan Islam dalam semua urusan hidup kita. Namun, saat ini hukum-hukum Islam tidak lagi diterapkan. Ia digantikan oleh hukum-hukum jahiliah, yang berasal dari manusia sendiri. Inilah yang membuat kehidupan masyarakat sarat dengan kezaliman dan ketidakadilan. Hilang pula keamanan dan rasa aman.
Semua itu semestinya mendorong kita untuk segera menerapkan hukum-hukum Islam untuk mengatur perkara kehidupan dan memutuskan segala persoalan yang terjadi. Jangan sampai kita termasuk orang yang zalim, fasik apalagi kafir karena enggan menerapkan hukum-hukum Islam.
Allah SWT berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang fasik (TQS al-Maidah [5]: 47).
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُۥ يُدۡخِلۡهُ نَارًا خَٰلِدًا فِيهَا وَلَهُۥ عَذَاب مُّهِين
Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkan dirinya ke dalam api neraka. Dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan. (QS an-Nisa’ [4]: 14). []