STRATEGIC ASSESSMENT. Kita semua tentu masih sangat berduka. Pasalnya, sudah lebih dari sepekan sebagian warga Cianjur dan sekitarnya terdampak gempa. Gempa pertama, yang bermagnitudo 5.6, terjadi pada Senin, 21 November 2022 lalu. Gempa susulan sampai saat ini pun masih terus terjadi. Sampai hari ini, sudah lebih dari 350 warga meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan bangunan, ribuan bangunan, khususnya rumah tinggal, hancur. Banyak warga terpaksa tinggal/tidur di tenda-tenda pengungsian hingga saat ini. Berbagai fasilitas publik juga banyak yang rusak. Di sisi lain akses ke posko-posko gempa juga tidak mudah. Akibatnya, meski banyak bantuan dari berbagai daerah, tidak semua bisa didistribusikan kepada seluruh korban yang terdampak gempa. Padahal mereka amat membutuhkan makanan, obat-obatan, popok bayi, akses air bersih, dll.
Sikapi dengan Iman
Bagi kaum Mukmin, setiap musibah harus dihadapi dengan keimanan. Seorang Muslim wajib mengimani bahwa tak ada satu pun musibah yang dia alami melainkan atas kehendak Allah SWT. Allah SWT berfirman:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ ٱللَّهِ
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin (kehendak) Allah (TQS at-Taghabun [64]: 11).
Dengan kata lain, musibah adalah bagian dari qadha’ Allah SWT (QS al-Hadid [57]: 22). Sikap seorang Muslim terhadap qadha’ Allah SWT adalah ridha. Rasul saw. bersabda:
«إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ»
Sungguh besarnya pahala itu seiring dengan besarnya ujian. Sungguh jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Siapa saja yang ridha, untuk dia keridhaan itu. Siapa yang benci, untuk dia kebencian itu (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Sabar, Tawakal dan Syukur
Karena merupakan qadha’, musibah pun harus dihadapi dengan kesabaran. Allah SWT memuji orang-orang yang selalu sabar. Allah SWT berfirman:
لَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (TQS al-Baqarah [2]: 155).
Saat ditimpa musibah, seorang hamba juga harus selalu bertawakal kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah, “Tidak akan pernah musibah menimpa kami kecuali yang telah Allah tetapkan untuk kami. Dialah (Allah) Pelindung kami.” Hanya kepada Allahlah kaum Mukmin bertawakal (TQS at-Taubah [9]: 51).
Dalam menghadapi musibah, Rasul saw. pun mengajari kita agar melakukan istirja’ (mengembalikan segalanya kepada Allah SWT) dan berdoa. Dalam menghadapi musibah, hendaknya juga kita banyak berzikir. Zikir akan dapat menenteramkan hati (QS ar-Ra’du [13]: 28). Hendaknya juga kita memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT baik dengan shalat, sedekah, tilawah al-Quran, shalat-shalat sunnah dan taqarrub lainnya.
Bahkan musibah yang menimpa ini seharusnya juga melahirkan rasa syukur. Dengan musibah ini kita harus bisa memberikan nilai dan makna atas beragam nikmat yang selama ini telah Allah SWT berikan kepada kita; nikmat sehat, kebugaran badan, nikmat kondisi kehidupan yang normal yang dengan itu bisa leluasa beraktivitas, mencari rezeki, dsb. Rasa syukur itu akan makin meningkat saat musibah berhenti dan saat Allah SWT mengembalikan nikmat berupa kehidupan yang kembali normal. Dengan itu musibah akan berubah menjadi kebaikan dan membuahkan banyak kebaikan.
Tobat dan Muhâsabah
Selain sabar, tawakal dan bersyukur, saat terkena musibah seorang Muslim juga diperintahkan untuk segera bertobat kepada Allah SWT dan melakukan banyak _ muhâsabah_. Sebabnya, Allah SWT mengingatkan bahwa beragam musibah (bencana) datang sering karena perbuatan (dosa) manusia sendiri:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Musibah (bencana) apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan (dosa) kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian) (TQS asy-Syura [42]: 30).
Rasulullah saw. juga menjelaskan bahwa saat kejahatan merajalela, Allah SWT akan meratakan bencana. Zainab binti Jahsyi ra. pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah kita akan binasa, wahai Rasulullah, padahal di sekitar kita ada orang-orang salih?” Beliau menjawab:
«نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ»
Ya, jika kejahatan sudah merajalela (HR al-Bukhari).
Karena itu sekarang inilah momen untuk kita kembali kepada Allah SWT dengan tobat yang sesungguhnya, baik secara personal maupun kolektif. Pasalnya, siapapun yang jujur akan melihat di negeri yang mayoritas Muslim justru banyak terjadi pelanggaran terhadap syariah Islam. Banyak terjadi korupsi, LGBT, penistaan agama (Islam), adu domba antar sesama anak bangsa, sikap mencampakkan syariah Islam, dll. Beragam ketidakadilan dan tindak kezaliman juga seperti tak pernah berakhir.
Karena itu kaum Muslim harus melakukan tawbat[an] nasuha. Kembali kepada Allah SWT dengan menaati semua aturan-Nya. Mereka harus menjadikan al-Quran sebagai petunjuk. Sebabnya, pangkal dari segala musibah (bencana) ini karena kita berpaling dari al-Quran. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Kehidupan yang sempit di dunia tidak lain adalah kehidupan yang semakin melarat, miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas, termasuk mengalami ragam kesusahan akibat berbagai musibah yang melanda negeri ini.
Kondisi buruk ini tentu tak boleh terus berlangsung. Kaum Muslim harus segera mewujudkan ketaatan penuh dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah. Demikian sebagaimana yang Allah SWT inginkan. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Penerapan syariah Islam secara kâffah adalah wujud ketaatan total kepada Allah SWT.
Tanggung Jawab Pemerintah
Pada dasarnya menolong orang-orang yang terkena musibah adalah kewajiban dan tanggung jawab bersama. Namun demikian, yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah. Sebabnya, pemerintah memang diamanahi untuk mengurus segala urusan rakyatnya, termasuk saat rakyat ditimpa musibah, sebagaimana saat ini.
Karena itu pemerintah wajib melakukan ikhtiar terbaik dalam mengatasi rentetan dampak yang dirasakan warga akibat musibah gempa ini. Pemerintah harus memastikan dan menjamin setiap warga negara yang terdampak musibah terpenuhi segala kebutuhannya. Terutama makanan, akses terhadap air, layanan kesehatan dan obat-obatan. Berapapun biaya yang diperlukan harus disediakan dan dikeluarkan oleh pemerintah. Realokasi anggaran, penggunaan sisa anggaran lebih dan sisa lebih penggunaan anggaran, termasuk opsi yang bisa dilakukan. Kuncinya adalah kepedulian dan kemauan pemerintah untuk bertanggung jawab penuh mengatasi semua persoalan akibat musibah gempa ini. Selain itu, sudah seharusnya pemerintah lebih serius dalam melakukan antisipasi ikhtiar optimal jika sewaktu-waktu berbagai musibah (bencana) kembali datang. Ini adalah bagian dari amanah kekuasaan. Kelak di akhirat amanah kekuasaan ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Rasul. saw. bersabda:
«…فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ …»
Pemimpin manusia adalah pengurus mereka dan dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Amanah pemimpin (pemerintah), seperti dalam hadis di atas, adalah mengurus urusan-urusan rakyat (ri’âyah syu`ûn ar-ra’yah). Seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim, ri’âyah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariah Islam serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat. Inilah seharusnya yang dilakukan oleh pemimpin yang amanah.
Dalam mengurusi rakyat, pemerintah hendaklah berlaku seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, “Sayyidu al-qawmi khâdimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka).” (HR Abu Nu’aim).
Pengurusan rakyat oleh pemerintah ini tidak mungkin bisa dilakukan dengan baik kecuali dengan menjalankan seluruh hukum dan aturan Allah SWT dalam wujud penerapan syariah-Nya secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. []
Hikmah:
فَالدُّنْيَا وُضِعَتْ لِلْبَلاَءِ، فَيَنْبَغِي لِلْعَاقِلِ أَنْ يُوَطِّنَ نَفْسَهُ عَلَى الصَّبْرِ
Kehidupan dunia itu dibuat memang sebagai ujian (bagi manusia). Karena itu manusia yang berakal sudah seharusnya memposisikan dirinya selalu ada dalam kesabaran. (Ibnu al-Jauzi, Shayd al-Khaathir, hlm. 399).
مَا مَضَى لاَ يُدْفَعُ باِلْحِزْنِ بَلْ بِالرِّضَا وَ الْحَمْدِ وَ الصَّبْرِ وَ اْلإِيْمَانِ باِلْقَدَرِ وَ قَوْلِ الْعَبْدِ: قَدَّرَ اللهُ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ
Musibah apapun yang terjadi tidak akan hilang oleh kesedihan. Akan tetapi, musibah itu akan hilang oleh sikap ridha, rasa syukur, sabar, keimanan pada takdir dan ucapan, ” Allah memang telah mentakdirkan demikian. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” (Ibnu al-Qayyim, Zaad al-Ma’aad, 2/342). []