STRATEGIC ASSESSMENT. Indonesia menerima sejumlah pertanyaan dan rekomendasi dari beberapa negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait kebijakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Air. Dua hal yang mencuat dari sejumlah isu yang muncul dalam persidangan Universal Periodic Review (UPR) ke-4 di Markas PBB, Jenewa, Swiss, belum lama ini, itu di antaranya adalah masalah HAM di Papua dan juga hukuman mati yang masih diterapkan di Indonesia.
Amnesty Internasional Indonesia mengkritik laporan dari delegasi pemerintah Indonesia dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Salah satunya soal pernyataan pemerintah agar membedakan antara pelanggaran HAM dan penegakan hukum. “Ini statement yang tidak empati terhadap isu di Papua” kata Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia Nurina Savitri dalam konferensi pers.
Nurina mencontohkan bagaimana selama 2022, ada 51 orang yang ditangkap dan mengalami kekerasan terkait demo Otonomi Khusus atau Otsus Papua. “Apakah ini yang disebut penegakan hukum?” ujarnya.
Masalah lain juga terkait dengan pembunuhan di luar hukum atau extra judicial killing yang terjadi di Papua dan masih adanya tahanan politik alias tapol. Amnesty mencatat ada 94 tapol sepanjang 2019-2022, yang di dalamnya termasuk tapol Papua dan Maluku.
Isu Papua sebelumnya menjadi satu di antara beberapa catatan yang mendapat rekomendasi kritis saat Sidang UPR Dewan HAM PBB. Kendati disorot tajam, Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna H. Laoly mengklaim keberhasilan dalam mempromosikan dan melindungi HAM di Indonesia, yang sangat terkait dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Selain isu Papua, masalah HAM lain yang menjadi perhatian di sidang tersebut adalah isu hukuman mati, ratifikasi optional protokol konvensi anti-penyiksaan, revisi kitab UU Hukum Pidana, kebebasan beragama dan berekspresi, perlindungan terhadap hak perempuan, anak dan penyandang disabilitas.
“Catatan-catatan penting tersebut, akan ditempatkan sebagai refleksi untuk terus meningkatkan pembangunan kita dan melakukan koreksi lebih lanjut. Dengan begitu, kualitas pembangunan kita bisa meningkat secara merata bagi kesejahteraan rakyat Indonesia di manapun berada,” kata Yasonna dalam konferensi pers yang dilakukan secara virtual dari Jenewa.
Saat diminta keterangan lebih lanjut mengenai isu Papua, Yasonna menyebut negara-negara anggota PBB juga tidak begitu gencar menyerang Indonesia. Namun diakuinya, ada beberapa isu yang diangkat, contohnya masyarakat adat dan dugaan pelanggaran HAM seperti mutilasi tentara terhadap warga sipil.
Dalam sidang tersebut, Yasonna juga menyerahkan laporan HAM Indonesia ke Dewan HAM PBB. Beberapa di antaranya tindak lanjut pemenuhan HAM sesuai dengan 167 rekomendasi yang telah diterima pada UPR sebelumnya hingga kondisi Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19 serta upaya pemerintah dalam memastikan hak-hak warga negara.
Laporan tersebut diklaim telah disusun dengan dukungan masyarakat sipil Indonesia dan lembaga-lembaga HAM nasional. Adapun outcome UPR ini, yang ada dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi akan dikonsultasikan lebih lanjut. Pemerintah Indonesia memiliki hak untuk mendukung atau cukup mencatat saja.
“Pemerintah tentunya akan terus berkomitmen tanpa kenal lelah dalam menunaikan tujuan pembangunan nasional, termasuk di bidang HAM,” ujar Yasonna.
Nurina berterima kasih kepada 9 negara di Sidang UPR yang mengangkat isu HAM di Papua. Menurut dia, kondisi ini membuktikan bahwa apa yang disampaikan tersebut memang benar adanya. Kedua, apa yang disampaikan pemerintah dalam laporannya tidaklah utuh.
Nurina memberi contoh lain seperti pada poin kebebasan berekspresi, di mana pemerintah menyebut Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP diklaim akan memperbaiki rule of law dan perlindungan HAM. Tapi masalahnya, draf RKUHP ini mengandung pasal bermasalah yang berpotensi melanggar HAM. “Ini yang jadi pertanyaan kami bagaimana klaim itu disampaikan, dasarnya apa?” kata dia.
Berikutnya, Nurina juga mengkritik klaim pemerintah dalam Sidang UPR yang menyebut telah melibatkan masyarakat sipil dalam penegakan HAM. Padahal dalam instrumen hukum internasional, keterlibatan ini haruslah berupa partisipasi bermakna. “Bukan sekedar meeting,” kata dia.
Dalam catatan Amnesty, ada 172 pembela HAM yang mendapat serangan. Maka ketika Indonesia disebut telah melibatkan kelompok masyarakat sipil, Nurina balik mempertanyakan bukankah ratusan serangan yang dialami pembela HAM ini justru berkebalikan dengan klaim pemerintah.
Untuk itulah, Amnesty menilai laporan pemerintah dalam Sidang UPR kemarin tidak boleh ditelan mentah-mentah. “Saya bisa pahami posisi Indonesia tidak mungkin sampaikan pelanggaran, tapi informasinya tak sesuai kondisi di lapangan,” kata dia.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang memimpin delegasi Indonesia mengingatkan bahwa Jakarta menghadapi situasi yang unik dan tidak mudah untuk memenuhi komitmen pembangunan HAM. Demokrasi yang terus diuji, disahkannya berbagai undang-undang dan perturan, dinamika penegakan hukum, peran masyarakat sipil yang dinamis, kondisi geopolitik global dan regional adalah sebagian fenomena yang mewarnai pembangunan nasional di bidang HAM selama lima tahun terakhir.
Mekanisme UPR merupakan forum yang mengedepankan dialog dan kerja sama yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas negara-negara anggota PBB dalam melaksanakan komitmen kemajuan dan perlindungan HAM, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 Tahun 2006.
Terkait hukuman mati, Yasonna mengklaim bahwa ketentuan tersebut masih sebagai hukum positif hingga saat ini. Pasalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih menempatkan pidana mati sebagai hukuman pokok. Namun, pemerintah sedang mencari jalan tengah terkait hal tersebut dengan melakukan amandemen KUHP yang akan menjadikan pidana mati sebagai hukuman alternatif.
“Kalau dalam KUHP, hukuman mati merupakan salah satu hukuman pokok, tetapi dalam KUHP yang nanti itu adalah alternative punishment,” kata Yasonna.
Jadi, lanjutnya, hukuman mati dapat dievaluasi setelah 10 tahun, termasuk juga selama terpidana menjalankan hukuman mati, hukumannya dapat dikurangi menjadi hukuman seumur hidup atau 20 tahun. Namun, kata Yasonna, tentunya hal itu dapat dilakukan dengan adanya rekomendasi dari berbagai pihak.
Sedangkan masalah HAM di Papua, sejumlah negara –khususnya Eropa– menyoroti kasus mutilasi yang terjadi di daerah tersebut beberapa waktu lalu. Yasonna menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya melakukan pendekatan yudisial, tetapi juga non-yudisial terkait peyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua.
Terkait dengan kasus HAM di wilayah paling timur Indonesia itu, Yasonna mengomentari masalah pelanggaran HAM berat di Paniai yang menewaskan empat warga sipil dengan korban luka-luka sebanyak 21 orang pada 2014.
“Kasus Paniai sekarang dalam proses sidang. Jaksa penuntut yang ikut menyidangkan kasus Paniai ikut ke mari, menjadi salah satu orang delegasi kita, bahkan menyampaikan jawaban atas berbagai isu HAM,” kata Yasonna.
Sementara itu, sejumlah organisasi yang tergabung dalam masyarakat sipil, di antaranya KontraS, Amnesty Internasional Indonesia dan SafeNet, memiliki catatan tersendiri terkait perlindungan dan pemenuhan HAM di Tanah Air.
Sumber foto : VOA
Menurut koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, Indonesia masih belum mempunyai peraturan yang komprehensif untuk para pembela HAM dan proteksinya. Akibatnya, pekerjaan pembela HAM ini terkadang dijustifikasi sebagai ancaman, dibuktikan dengan data yang dimiliki lembaganya selama lima tahun ke belakang, yaitu adanya 667 kasus kekerasan yang menimpa pembela HAM.
Terkait isu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, katanya, impunitas oleh aparat dan hukuman mati dan belum diratifikasinya peraturan soal penyiksaan dan sejumlah kasus lainnya juga menjadi catatan yang harus diperhatikan pemerintah.