STRATEGIC ASSESSMENT. Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024 memang masih jauh. Namun demikian, kekhawatiran bahkan ketakutan kelompok radikal-sekuler anti Islam terhadap kemenangan kelompok Islam di Pilpres 2024 tampak nyata. Trauma kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 benar-benar membekas di hati mereka. Mereka khawatir jagoan mereka berikutnya—yang diduga kuat merupakan boneka oligarki selanjutnya—bakal kalah di Pilpres 2024.
Karena itu segala cara mereka lakukan untuk membendung kekuatan politik Islam. Salah satunya dengan terus-menerus menuding kelompok Islam memainkan ‘politik identitas’. Tudingan ini sebetulnya tidak berbeda dengan tudingan-tudingan sebelumnya, bahwa kelompok Islam sering memainkan ‘isu agama’, melakukan ‘politisasi agama’, jualan ‘ayat dan mayat’ (ini sering mereka kaitkan dengan kasus Pilkada DKI Jakarta 2017), dll. Tujuan dari berbagai tudingan tersebut tentu saja agar kaum Muslim tidak memilih Capres/Cawapres Muslim yang dianggap kental warna keislamannya atau dianggap berpihak pada Islam dan umat Islam.
Awas Jebakan
Umat Islam tentu tidak seharusnya terjebak dalam permainan istilah yang digunakan oleh kelompok radikal-sekuler anti Islam. Alasannya: Pertama, tudingan mereka sesungguhnya hanya membuktikan sikap hipokrit (kemunafikan) mereka. Faktanya, setiap menjelang Pilpres atau Pilkada, merekalah sebetulnya yang sering memainkan ‘politik identitas’ atau melakukan ‘politisasi agama’. Caranya dengan memanipulasi identitas bahkan agama/keyakinan mereka. Aslinya para calon yang mereka dukung acapkali berasal dari kalangan radikal-sekuler anti Islam, bahkan berasal dari kalangan non-Muslim (kasus Ahok). Namun, setiap menjelang Pilpres/Pilkada calon-calon yang mereka dukung itu sering mendadak islami. Tiba-tiba sering memakai sarung, baju koko dan peci. Tiba-tiba berkerudung dan berjilbab. Tiba-tiba rajin berkunjung ke pesantren-pesantren. Tiba-tiba sering sowan kepada para kiai. Tiba-tiba kegiatan ibadah ritualnya—seperti shalat, zikir dan berdoa—diviralkan seolah ingin menunjukkan keshalihan pribadinya. Padahal aslinya ada yang diduga terlibat korupsi, suka nonton bokep, zalim terhadap rakyat kecil, dll.
Kedua, tudingan mereka bertujuan agar umat Islam meninggalkan sama sekali identitas keislaman mereka. Juga agar umat Islam tidak menggunakan kacamata Islam dalam memilih pemimpin mereka. Sebabnya, mereka tentu sangat trauma dengan kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 akibat umat terpengaruh oleh fatwa ‘haram memilih pemimpin kafir’. Mereka tidak ingin umat Islam yang mayoritas di negeri ini terpengaruh oleh fatwa-fatwa agama di Pilpres 2024 yang akan merugikan calon yang mereka dukung, yang aslinya memang sekuler bahkan anti Islam.
Wajib Memegang Teguh Identitas Islam
Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya agar memeluk Islam secara kâffah, dalam seluruh aspek kehidupan:
﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّه لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ﴾
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sungguh ia musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).
Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan: “Ketika Allah SWT menjelaskan kepada umat manusia, baik Mukmin, kafir maupun munafik, maka Dia (seolah) berfirman: Jadilah kalian dalam satu agama, berhimpunlah kalian dalam Islam, dan berpegangteguhlah dengannya. Kata “as-Silmi” di sini maknanya Islam. Ini dinyatakan oleh Mujahid dan diriwayatkan oleh Abu Malik dari Ibn ‘Abbas.”
Karena itu ayat ini memerintahkan semua umat manusia untuk memeluk Islam secara kâffah.
Dalam kitab yang sama Imam al-Qurthubi lalu menjelaskan makna kâffah di dalam ayat ini: Pertama, menyeluruh, yakni meliputi seluruh ajaran Islam. Kedua, menolak yang lain, di luar Islam. Dengan kata lain, orang yang telah memeluk Islam wajib mengambil Islam secara menyeluruh dan menolak yang lain selain Islam. Itu baru disebut masuk Islam secara kâffah.
Dengan kata lain, seorang Muslim wajib mengimani dan mengambil Islam secara utuh. Tidak boleh sepotong-sepotong. Dipilih-pilih yang enak dan mudah saja (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 85).
Karena itu haram hukumnya meninggalkan identitas Islam dalam hal apapun. Sebaliknya, identitas Islam harus dipegang teguh oleh setiap Muslim dalam seluruh aspek kehidupannya. Tidak hanya saat beribadah, tetapi juga dalam melakukan kegiatan lain seperti ekonomi, sosial, pendidikan, politik, pemerintahan dan sebagainya.
Dalam konteks politik Islam, Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
اَلسِّيَاسَةُ هِيَ رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الأُمَّةِ دَاخِلِيًّا وَخَارِجِيًّا، وَتَكُوْنُ مِنْ قِبَلِ الدَّوْلَةِ وَالأُمَّةِ، فَالدَّوْلَةُ هِيَ الَّتِيْ تُبَاشِرُ هَذِهِ الرِّعَايَةِ عَمَلِيًّا، وَالأُمَّةُ هِيَ الَّتِيْ تُحَاسِبُ هَذِهِ الدَّوْلَةُ
Politik adalah mengurusi urusan umat di dalam dan luar negeri. Hal itu dilakukan oleh negara dan umat. Negaralah yang melaksanakan pengurusan ini secara langsung, sedangkan umatlah mengoreksi negara (An-Nabhani, Mafâhim Siyâsiyyah, hlm. 5).
Mengurusi umat di dalam negeri itu dilakukan oleh negara dengan cara menerapkan ideologi Islam (akidah dan syariah) secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Tugas umat adalah mengoreksi jalannya penerapan ideologi Islam ini jika terjadi penyimpangan. Adapun mengurusi umat di luar negeri adalah dengan mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke luar negeri.
Berpolitik—yakni mengurusi urusan umat, di dalam dan luar negeri—dengan menerapkan Islam secara kâffah itu hukumnya wajib, baik oleh negara maupun umat. Itulah politik Islam.
Karena itu seorang Muslim sejatinya adalah politikus. Sebabnya, politik dalam pandangan Islam adalah mengurusi urusan umat dengan syariah Islam. Karena itu setiap politisi Muslim wajib menguasai fiqih Islam dengan baik dan benar. Sebabnya, jika tidak menguasai fiqih Islam, ia tidak akan bisa mengurusi urusan umat dengan baik dan benar. Karena itu fiqih dan politik, dalam pandangan Islam, tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, fiqih adalah solusinya, sedangkan politik adalah cara bagaimana mengimplementasikan fiqih tersebut dalam kehidupan.
Di sisi lain, seorang ahli fiqih Islam tidak boleh berhenti pada penguasaan hukum fiqih, tetapi harus sampai pada level implementasi (penerapan) fiqih Islam itu ke dalam kehidupan. Jika tidak, hukum fiqih atau syariah Islam tersebut hanya menjadi sebatas gagasan.
Karena itu berpolitik dengan merujuk pada fiqih atau syariah Islam itu hukumnya fardhu sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji dan jihad. Sama-sama wajib. Tidak boleh dibeda-bedakan. Dengan demikian fiqih Islam akan melekat di dalam politik dan tidak bisa dipisahkan. Inilah yang sekaligus menjadikan politik memiliki identitas yang jelas, yakni Islam. Politik Islam semacam inilah yang membedakan dirinya dengan politik sekuler.
Sebaliknya, ketika politik umat Islam tidak menggunakan fiqih atau syariah Islam, maka politiknya tidak mempunyai identitas yang jelas. Politiknya akan menjadi politik sekuler yang oportunis dan hipokrit. Inilah yang digambarkan dalam al-Quran:
﴿مُّذَبْذَبِيْنَ بَيْنَ ذٰلِكَۖ لَآ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ وَلَآ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ ۗ وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَنْ تَجِدَ لَه سَبِيْلًا﴾
Mereka (orang-orang munafik) dalam keadaan ragu di antara yang demikian (iman atau kafir). Tidak termasuk golongan (orang beriman) ini dan tidak (pula) golongan (orang kafir) itu. Siapa saja yang dibiarkan sesat oleh Allah (karena tidak mengikuti tuntunan-Nya dan memilih kesesatan), kamu tidak akan menemukan jalan (untuk memberi petunjuk) bagi dirinya (QS an-Nisa’ [4]: 143).
Alhasil, tidak boleh seorang Muslim menanggalkan syariah Islam sebagai identitasnya dalam berpolitik. Apapun alasannya. Sebaliknya, dia wajib terikat dengan syariah Islam dalam segala aspek kehidupannya.
Pentingnya Syiar Islam
Identitas Islam harus benar-benar tampak menonjol dalam kehidupan umat Islam. Tak boleh lagi disembunyikan. Apalagi jika alasan yang mendasari sikap menyembunyikan identitas Islam itu adalah kekhawatiran atau ketakutan akan tudingan kelompok radikal-sekuler anti Islam. Sebabnya, tentu kelompok radikal-sekuler anti Islam tak ingin Islam dan syariahnya mewarnai kehidupan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas negeri ini.
Karena itu umat Islam, para tokoh Islam, para pimpinan partai Islam maupun para calon pemimpin dari kalangan Islam tak perlu ragu lagi menunjukkan identitas keislaman mereka. Tak perlu ragu lagi mereka menyuarakan syariah Islam. Saatnya mereka berani secara lantang menyuarakan syariah Islam. Jangan lagi mereka menyembunyikan kebenaran Islam. Sebabnya, Allah SWT telah berfirman:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan. Jangan pula kalian menyembunyikan kebenaran, padahal kalian tahu (TQS al-Baqarah [2]: 42).
Selain itu, menampakkan identitas Islam merupakan bagian dari syiar Islam yang harus terus diagungkan. Sebabnya, mengagungkan syiar Islam adalah bagian dari ketakwaan kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah maka sungguh itu berasal dari ketakwaan di dalam hati (TQS al-Hajj [22]: 32).
WalLâhu a’lam. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Dialah (Allah) Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk Dia menangkan agama itu atas seluruh agama yang ada meski kaum musyrik membencinya. (TQS at-Taubah [9]: 33). []