STRATEGIC ASSESSMENT. Jakarta. Akhirnya, di tengah ragam kesulitan yang diderita rakyat, Pemerintah benar-benar tega menaikkan harga BBM. BBM jenis Pertalite naik tidak tanggung-tanggung. Dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter. Padahal Pertalite selama ini banyak dikonsumsi jutaan masyarakat menengah ke bawah. Terutama setelah BBM jenis Premium makin langka, bahkan nyaris tak pernah dijumpai di setiap SPBU. Demikian pula Solar subsidi naik dari Rp 5.150/liter menjadi Rp 6.800/liter. Pertamax, yang belum lama ini naik, juga dinaikkan kembali harganya, dari Rp 12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter.
Kebijakan Zalim
Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM tentu amat zalim. Mengapa? Pertama: Korbannya adalah rakyat kebanyakan. Mereka adalah kalangan menengah ke bawah. Jumlahnya ratusan juta orang. Terutama para pengguna kendaraan bermotor roda dua, termasuk ojol, juga kendaraan umum seperti angkot dan angkutan niaga.
Kedua: Keputusan menaikkan harga BBM dikeluarkan Pemerintah saat kebanyakan masyarakat masih belum benar-benar bangkit. Mereka masih terpuruk secara ekonomi akibat pukulan Pandemi Covid-19 selama tidak kurang dari dua tahun.
Ketiga: Harga BBM di luar negeri justru sedang anjlok. Karena itu banyak negara malah ramai-ramai menurunkan harga BBM untuk rakyatnya. Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM pada saat di banyak negara lain harga BBM diturunkan tentu aneh.
Keempat: Kenaikan BBM dipastikan akan meningkatkan biaya hidup masyarakat. Harga-harga kebutuhan pokok pasti naik. Sebabnya, biaya transportasi juga otomatis naik. Akibatnya, beban operasional seluruh kegiatan ekonomi masyarakat juga dipastikan naik.
Kelima: Di tengah-tengah kehidupan rakyat yang serba sulit, Pemerintah tetap ngotot untuk melanjutkan proyek-proyek mercusuar yang sesungguhnya tidak berkaitan langsung dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Contohnya proyek Ibu Kota Negara (IKN) dan Kereta Cepat Bandung-Jakarta. Kedua proyek ini diduga lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan oligarki. Bukan untuk kepentingan rakyat. Demikian pula proyek sejumlah infrastruktur lainnya yang tentu menghabiskan anggaran puluhan bahkan ratusan triliun rupiah.
Keenam: Kompensasi dalam bentuk BLT BBM yang diberikan Pemerintah kepada rakyat sangatlah kecil. Hanya Rp 600 ribu/KPM (Keluarga Penerima Manfaat). Itu pun hanya akan diterima oleh sekitar 20 juta orang. Tentu ini tidak sebanding dengan uang yang disedot oleh Pemerintah dari masyarakat yang terpaksa membeli BBM dengan harga mahal.
Ketujuh: Pemerintah seperti tidak pernah serius, bahkan seolah tak pernah berniat sama sekali, untuk melakukan efisiensi anggaran. Belum lagi kebocoran anggaran akibat korupsi para pejabat negara yang makin massif.
Kedelapan: Dalam pandangan Islam, BBM dan energi lainnya hakikatnya milik rakyat. Rakyatlah pemilik BBM, juga energi dan segala sumberdaya alam yang depositnya melimpah. Bukan Pemerintah. Pemerintah hanya berwenang mengelola semua milik rakyat tersebut. Hasilnya, tentu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat. Di antaranya dalam bentuk BBM dan energi yang murah harganya. Negara tidak boleh berdagang dengan rakyat dengan mencari untung yang sebesar-besarnya. Apalagi dengan memperdagangkan barang-barang yang sejatinya milik rakyat seperti BBM, listrik, gas, dll.
Ketentuan Syariah
Berdasarkan ketentuan syariah Islam, BBM, energi dan sumberdaya alam lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak hakikatnya adalah milik rakyat. Hal ini di dasarkan pada sejumlah hadis. Di antaranya riwayat Ibnu ‘Abbas ra. yang menuturkan bahwa Rasulullah saw., pernah bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ»
Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api. Harganya adalah haram (HR Ibn Majah dan ath-Thabarani).
Berdasarkan hadis ini, ketiga jenis sumberdaya alam ini adalah milik umum. Hanya saja, statusnya sebagai milik umum adalah berdasarkan sifatnya, yakni sebagai barang-barang yang dibutuhkan masyarakat secara umum (As-Siyaasah al-Iqtishadiyah al-Mutslaa, hlm. 67).
Dari hadis di atas bisa digali kaidah hukum:
] كُلُّ مَا كَانَ مِنْ مَرَافِقِ اْلجَمَاعَةِ كَانَ مِلْكِيَّةً عَامَةً[
Setiap benda/barang (sumberdaya alam) yang menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat secara luas adalah milik umum (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, 3/466).
Dengan demikian tak hanya air, api dan padang rumput. Semua sumberdaya alam yang menjadi kebutuhan masyarakat secara luas (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum (An-Nabhani, An-Nizhaam al-Iqtishaadi, hlm. 201).
Alasannya, Rasulullah saw. pernah memberikan penguasaan air di Thaif dan Khaibar kepada seseorang. Air tersebut tidak menjadi tempat bergantung masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa larangan penguasaan ketiga jenis barang dalam hadis di atas mengandung ‘illat. ‘Illat-nya adalah barang tersebut min maraafiq al-jamaa’ah (kebutuhan bersama masyarakat). Dalam kaidah ushul dinyatakan:
]اَلْعِلَّةُ تَدُوْرُ مَعَ الْمَعْلُوْلِ وُجُوْداً وَ عَدَماً[
Ada atau tidak adanya hukum bergantung pada ‘illat-nya.
Berdasarkan kaidah ini, semua yang terkategori barang yang dibutuhkan publik (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum. Tak hanya air, padang rumput dan api. Di dalamnya termasuk BBM, energi dan yang lainnya.
BBM dan energi lainnya (yang depositnya melimpah) sebagai milik umum juga termasuk ke dalam bahasan hadis tentang barang tambang dari riwayat Abyadh bin Hammal ra.
«عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ».
Dari Abyadh bin Hammal: Ia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dia. Beliau pun memberikan tambang itu kepada dirinya. Ketika Abyadh bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Hadis ini maqbuul dengan banyaknya jalan (katsrah ath-thuruq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadis hasan (Tuhfah al-Ahwadzi, 4/9).
Hadis ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki oleh individu (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwaal, hlm. 54-56).
Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja, seperti dalam hadis di atas, tetapi juga berlaku untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan ‘illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut, yakni “seperti air yang mengalir”. Artinya, semua barang tambang yang jumlahnya “seperti air yang mengalir” (depositnya melimpah) haram dimiliki oleh individu (privatisasi), termasuk swasta apalagi asing.
Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qudamah, “Barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi, air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Jawabannya ada dua Riwayat. Yang lebih kuat adalah tidak boleh memilikinya.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/131).
Peran Negara
Imam/Khalifah (penguasa dalam sistem pemerintahan Islam) harus memberikan akses atas milik-milik umum ini kepada semua rakyatnya, baik miskin atau kaya (Muqaddimah ad-Dustuur, hlm 365). Karena itu klaim Pemerintah bahwa subsidi BBM selama ini salah sasaran karena banyak dinikmati oleh orang-orang kaya adalah alasan yang bertentangan dengan ketentuan syariah ini. Sebabnya, baik miskin atau kaya, memiliki hak yang sama untuk menikmati semua sumberdaya alam milik umum (yang menguasai hajat hidup orang banyak).
Kepemilikan umum ini dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga murah yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Ini karena negara hanya mewakili umat untuk mengelola barang tersebut.
Kesimpulan
Dengan paparan singkat di atas, jelas kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM, apapun alasannya, wajib ditolak! Selebihnya, Pemerintah wajib mengelola BBM dan energi—juga seluruh sumberdaya alam milik rakyat—sesuai dengan ketentuan syariah. Mungkinkah? Tampaknya mustahil selama negeri ini menerapkan sistem kapitalisme-sekuler-liberal.
Inilah di antara alasan rasional mengapa negeri ini harus diatur berdasarkan syariah Islam. Sebaliknya, bangsa ini harus berani membuang sistem kapitalis-sekuler-liberal yang telah terbukti banyak menyengsarakan rakyat. Pertanyaannya: Apakah kita tetap akan menolak syariah Islam yang jelas-jelas akan mendatangkan maslahat dan keberkahan?! Ataukah kita tetap akan betah hidup diatur dengan sistem kapitalis-sekuler-liberal yang terbukti banyak madaratnya?!
WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab. []