STRATEGIC ASSESSMENT. Negeri ini baru saja merayakan Hari Kemerdekaannya yang ke-77 tahun. Bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat ini patut dilakukan setiap Muslim. Negeri ini telah merdeka dari penjajahan secara fisik atau militer.
Bersyukur atas kemerdekaan tentu bukan dengan sekadar memuji kebesaran Allah SWT secara lisan, tetapi dengan menggunakan nikmat kemerdekaan ini untuk mewujudkan ketaatan pada perintah dan larangan-Nya.
Sayang, dengan bercermin pada perjalanan bangsa ini hingga hari ini, kemerdekaan justru dimaknai dengan kebebasan, termasuk bebas dari aturan-aturan Allah Sang Maha Pemberi nikmat. Bahkan muncul sejumlah tindakan untuk mendiskreditkan ajaran Islam di alam kemerdekaan seperti melarang anjuran berjilbab di sekolah-sekolah, sampai menyematkan isu radikalisme terhadap ajaran Islam.
Kemerdekaan vs Liberalisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari kata merdeka adalah: bebas (dari perhambaan, penjajahan dan sebagainya); berdiri sendiri. Namun celakanya, bentuk dan makna merdeka yang dijadikan acuan adalah kebebasan yang dibangun masyarakat Barat yang sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Kemerdekaan lalu diterjemahkan dengan liberalisasi kehidupan umat manusia, atau kebebasan dari segala keterikatan dan paksaan; termasuk keterikatan dan paksaan ajaran agama.
Menurut kaum liberalis, kemerdekaan itu harus menjamin hak-hak asasi manusia berupa kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, kebebasan beragama dan kebebasan perilaku.
Di alam kemerdekaan rakyat harus dijamin bebas berpendapat sekalipun pendapatnya itu merusak dan berbahaya semisal usulan legalisasi ganja, atau pendidikan seks bagi anak dan remaja.
Negara yang merdeka juga harus menjamin kebebasan kepemilikan, termasuk penguasaan sumber daya alam yang harusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Berlakulah prinsip hukum rimba dalam bidang ekonomi: siapa yang kuat, dia bertahan; yang lemah akan tersingkir. Di Indonesia hari ini, 1 persen orang kaya menguasai 50 persen aset nasional. Lewat kebebasan kepemilikan, segelintir orang juga menguasai lahan di tanah air. Almarhum Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa telah terjadi penguasaan tanah oleh konglomerat di Indonesia. Dia merinci 80 persen lahan dikuasai konglomerat domestik dan 13 persen dikuasai oleh konglomerat asing. Sebaliknya, tak kurang 74 persen masyarakat Indonesia tidak memiliki rumah. Sebanyak 32 persen menyewa dan 42 persen menumpang.
Hari ini mungkin banyak orang tidak menyadari bahwa penjajahan telah bertransformasi menuju gaya baru atau neokolonialisme/neoimperialisme. Penjajah Barat tidak lagi menggunakan kekuatan fisik untuk mengeksploitasi kaum pribumi. Namun, mereka mendoktrinkan ideologi mereka pada negara jajahan sambil merampok kekayaannya melalui tipudaya kerjasama, lewat para pemimpin boneka dan konstitusi yang mereka rancang.
Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, juga pakta perdagangan seperti World Trade Organization (WTO) disetir oleh negara-negara Barat untuk kepentingan mereka dengan menciptakan pasar bebas di mana pun. Produk-produk asing akan membanjiri negara-negara berkembang, bahkan bisa mematikan industri dalam negeri karena kalah bersaing.
Terbukti pasar e-commerce yang dikatakan akan membantu UMKM ternyata dikuasai produk impor. INDEF mengatakan data asosiasi e-commerce menunjukkan kecenderungan 93% barang yang dijual marketplace adalah barang impor, produk lokal hanya 7%.
Di sisi lain kebebasan perilaku melahirkan doktrin ‘my body is my authority’. Selain menolak kewajiban berjilbab, prinsip hidup ini membuat kerusakan moral meruyak di mana-mana; perzinaan, prostitusi, tukar-menukar pasangan (swinger), LGBT, pornografi, dsb. Kemerdekaan, kata mereka, adalah bebas melakukan apa saja.
Ironinya, dalam bidang hukum dan politik, kemerdekaan justru tidak membuat negeri ini bebas dari cengkeraman ideologi dan sistem politik asing: demokrasi. Demokrasi terbukti melahirkan oligarki; kekuasaan yang berada di segelintir orang. Hasilnya, muncullah kebijakan kapitalistik yang menguntungkan oligarki. Menkopolhukam Mahfud MD pernah menyatakan bahwa 92 persen pemilihan kepala daerah dikuasai cukong. Lahirlah kemudian para kepala daerah yang bermental koruptor. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan ada 429 kepala daerah ditangkap KPK karena terlibat korupsi.
Melihat realitas ini, tidak aneh, meski sudah 77 tahun merdeka, kondisi negeri justru makin terpuruk. Semua terjadi karena salah memahami makna kemerdekaan sebagai kebebasan. Lepas dari aturan agama. Bahkan bebas mendiskreditkan ajaran agama dan menempatkan agama sebagai musuh bersama. Ujungnya justru penderitaan rakyat lahir-batin. Mahabenar Allah Yang telah mengingatkan manusia akan kebinasaan mereka saat mereka memperturutkan hawa nafsu dan menjauhkan diri dari agama:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (al-Quran), tetapi mereka berpaling dari peringatan itu (TQS al-Mu’minun [23]: 71).
Merdeka dengan Takwa
Suatu kesalahan besar jika menyebut ketaatan pada Islam itu mengekang kemerdekaan. Sebabnya, misi kedatangan Islam justru untuk memberikan kemerdekaan sejati kepada manusia. Islam datang di tengah penderitaan umat manusia akibat penindasan kekuasaan yang zalim dan sistem perbudakan yang berlaku. Islam lalu memerdekakan manusia dari semua itu.
Prinsip itu tercermin dalam dua hal. Pertama: Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk dan manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT. Rasulullah saw. menulis surat kepada penduduk Najran yang berisi misi pembebasan tersebut:
«أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ»
Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dengan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dengan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 5/553).
Islam datang menghapuskan sikap tirani para raja, kaisar, kaum bangsawan dan kaum feodal terhadap sesama manusia. Islam mengajarkan bahwa prinsip kesetaraan dan kemuliaan hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sungguh yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (TQS al-Hujurat [49]: 13).
Sebaliknya, sekularisme yang melahirkan kapitalisme justru menciptakan kelas-kelas sosial, lalu memberikan privilege kepada kaum kaya dan para penguasa. Mereka bisa menguasai sumber daya ekonomi, juga bisa menentukan hukum. Islam justru menempatkan manusia setara di mata hukum.
Dalam sistem pemerintahan Islam tak ada privilege (keistimewaan) bagi para pejabat dan keluarganya dengan memanfaatkan hukum dan fasilitas negara.
Ibnu Sirin meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra. pernah membeli sejumlah unta. Ia lalu menggembalakan unta-unta tersebut di kawasan unta-unta zakat hingga unta-unta miliknya gemuk dan harganya bertambah mahal. Ketika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra. mengetahui hal itu, beliau berkata pada anaknya, “Tidak ada yang menjadi milikmu selain modalnya saja. Adapun kelebihannya harus dimasukkan ke Baitul Mal kaum Muslim!”
Kedua: Islam membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu. Keselamatan dan kebahagiaan seorang Muslim adalah ketika ia bisa menundukkan hawa nafsunya pada aturan Allah SWT. Manusia menyangka dengan hidup bebas tanpa aturan mereka mendapatkan kemerdekaan. Yang terjadi mereka justru menjadi budak hawa nafsu yang akan menyeret mereka ke dalam kebinasaan. Rasulullah saw. bersabda:
«ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ»
Ada tiga perkara yang membinasakan: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan membanggakan diri sendiri (HR al-Baihaqi).
Kemerdekaan yang dirasakan umat hari ini justru mendorong manusia melampiaskan hawa nafsu untuk mencari kesenangan jasadiah (hedonisme) yang malah melahirkan tekanan jiwa dan sosial. Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut angka prevalensi orang dengan gangguan jiwa di Indonesia sekitar 1 dari 5 penduduk di Indonesia.
Sebaliknya, Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki sifat cukup (qanaa’ah) terhadap karunia Allah SWT. Kekayaan bukan diukur dari keberlimpahan materi, tetapi dari kayanya hati. Nabi saw. bersabda:
«لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ»
Kaya itu bukanlah dengan memiliki banyak harta. Akan tetapi, kaya itu adalah hati yang selalu merasa cukup (HR Muttafaq ‘alayh).
Wahai kaum Muslim! Sungguh negeri ini belum merdeka secara hakiki. Penghambaan kepada sesama manusia serta ketundukan pada ideologi dan kepentingan asing masih terjadi. Kekayaan alam negeri ini masih terus dieksploitasi oleh asing sebagaimana dulu mereka merampok rempah-rempah dari negeri ini.
Jiwa umat juga belum merdeka akibat budaya hedonisme yang diciptakan ideologi batil dari Barat: kapitalisme. Kita terus dijauhkan dari ketaatan pada hukum-hukum Allah SWT. Barat terus mengobarkan islamophobia hingga banyak dari umat ini membenci agamanya sendiri.
Karena itu raihlah kemerdekaan hakiki dengan mengokohkan ketaatan kepada Allah, dengan melaksanakan semua hukum-hukum-Nya agar kita menjadi orang merdeka