STRATEGIC ASSESSMENT. Salman Rushdie, penulis buku ‘Ayat-ayat Setan’ yang pernah mendapat ancaman mati dari Iran pada tahun 1980an, ditikam di leher pada hari Jumat (12/8) di panggung dalam sebuah acara di Chautauqua Institute, New York.
Rushdie langsung dilarikan ke rumah sakit dengan helikopter, menurut polisi. Pelaku penikaman yang belum diketahui identitasnya telah ditahan.
Rushdie adalah penulis buku “The Satanic Verses” (Ayat-ayat Setan) yang dikecam oleh dunia Muslim dan dilarang di banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim, karena dianggap menghina Nabi Muhammad.
Buku itu dilarang di Iran sejak 1988 dan pada tahun 1989 mantan pemimpin Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini mengeluarkan fatwa memerintahkan Rushdie dibunuh. Iran juga menawarkan imbalan senilai 3 juta dolar bagi mereka yang membunuh Rushdie.
Seorang wartawan the Associated Press menyaksikan penikaman itu dan mengatakan serangan itu berlangsung sekitar 20 detik.
Rushdie menghadiri acara diskusi di Chautauqua Institution tentang Amerika Serikat sebagai tempat suaka bagi para penulis dan seniman di pengasingan dan “tempat kebebasan berekspresi secara kreatif,” menurut situs Chautauqua Institution.
Setelah fatwa Ayatollah Ruhollah Khomeini, Rusdhie mengasingkan diri selama bertahun-tahun di bawah program perlindungan yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris. Rushdie, yang lahir di keluarga Muslim India, telah menjadi warga negara Amerika pada tahun 2016 dan tinggal di kota New York.
Rushdie kembali muncul di depan publik setelah berada dalam pengasingan selama sembilan tahun. Ia kerap menyuarakan kritik tentang ekstremisme agama dan juga opresi di India, termasuk kepada pemerintah nasionalis Hindu di bawah pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi.
Meskipun pemerintah Iran mengatakan pada tahun 1998 tidak lagi mendukung fatwa itu, sentimen anti-Rusdhie masih tetap ada dan masih banyak organisasi Iran yang menawarkan hadiah uang senilai jutaan untuk pembunuhan Rushdie.
Menurut Index on Censorship, sebuah organisasi yang menyuarakan kebebasan berekspresi, hadiah uang masih tetap ditawarkan bagi mereka yang membunuh Rushdie pada tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa fatwa yang menuntut kematian Rushdie masih berlaku.
Wylie Agency, agen yang mewakili Rushdie, belum mengeluarkan keterangan resmi tentang insiden ini.
PEN Amerika, kelompok advokasi kebebasan berekspresi di mana Rushdie pernah menjadi presidennya, mengatakan “terguncang karena terkejut dan ngeri.”
“Salman Rushdie telah menjadi target akibat kata-katanya selama puluhan tahun tapi ia tidak pernah goyah ataupun gentar,” kata Suzanne Nossel, chief executive PEN, dalam sebuah pernyataan.
Pada tahun 2012, Rushdie mempublikasikan sebuah memoar, “Joseph Anton,” mengenai fatwa kematiannya. Judul itu diambil dari nama samaran yang digunakan Rushdie untuk buku-buku yang ia tulis selama persembunyiannya.
Rushdie pernah meraih penghargaan Booker Prize lewat novelnya “Midnight’s Children,” tapi namanya baru dikenal di seluruh dunia stelah buku “The Satanic Verses.” [dw/np]