STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mengatakan, terdapat pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam pers saat menyiarkan kritik terhadap pemerintahan. Ancaman tersebut tertuang dalam Pasal 218 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
“Misalnya juga tidak boleh lagi mengkritik atau memuat kritik kecuali kritik itu disertai dengan solusi,” kata Azyumardi saat konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Gambir, Jakarta Pusat. Namun, menurut Azyumardi, pasal tersebut juga bisa berlaku untuk kekuasaan secara umum di bawah pemerintahan.
“Jadi kalau pers memuat itu kepada kekuasaan bersifat umum bukan hanya Presiden dan Wapres, tapi juga pemerintah yang ada di bawah itu bahkan sampai ke tingkat paling bawah,” ucap dia. “Jadi oleh karena itu media yang memuat kritik tanpa ada solusi bisa kena delik,” tutur Azyumardi. Ia mengaku sempat mempertanyakan pasal itu kepada pemerintah. Namun, saat itu pemerintah menyatakan bahwa kritik yang disampaikan tidak harus disertai solusi.
Azyumardi khawatir, pasal tersebut seperti pasal karet yang bisa dikenakan kepada siapa pun dengan maksud untuk melakukan kriminalisasi seperti Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). “Pemerintah ketika saya tanya soal ini dia bilang, ‘Ya, enggak harus begitu,’ tapi pengalaman kita pasal seperti itu pasal karet yang ada di UU ITE,” ujar Azumardi.
Dalam draf RKUHP Pasal 218 disebutkan: Ayat (1): Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Ayat (2): Tidak merupakan penyerangan kehormatan atua harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Dalam penjelasan Pasal 218 ayat 2 disebutkan definisi kritik adalah penyampaian pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan. Penjelasan selanjutnya, ayat (2) pasal itu meminta kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif. Kritik juga harus tidak memiliki niat jahat untuk merendahkan atau menyerang martabat atau menyinggung karakter pribadi Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut Azyumardi, itu baru satu pasal. Ia mengatakan, setidaknya ada 20 pasal terbagi dalam 9 poin RKUHP yang bisa mengancam kemerdekaan pers di Indonesia: 1. Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara; 2. Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden; 3. Pasal 240, 241, 246, dan 248 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah karena bersifat pasal karet; 4. Pasal 263 dan 264 tentang Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong; 5. Pasal 280 tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan; 6. Pasal 302-304 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan; 7. Pasal 351-352 tentang Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara; 8. Pasal 440 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pencemaran Nama Baik; 9. Pasal 437 dan 443 tentang Pidana Pencemaran.
Sementara, Partai Solidaritas Indonesia mengingatkan bahwa masih ada potensi masalah terkait pasal penodaan agama di Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Mereka meminta agar Pasal 302 ayat 2 yang masih mirip dengan aturan penodaan agama yang lama, dihapus. Pasal tersebut memidana setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penodaan terhadap agama atau kepercayaan di Indonesia.
Menurut PSI, ayat tersebut sangat karet dan subyektif dan berpotensi over-criminalization. “Ayat 2 ini dapat menjerat orang yang tidak memiliki niatan menghina agama lain, namun dipidana atas dasar desakan massa. Perbedaan tafsir agama bisa berujung pada tuduhan penodaan agama,” kata Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, dalam video yang diunggah di akun media sosial DPP PSI.
Dea menegaskan pasal itu juga berpotensi dipakai untuk politisasi agama dan memberangus lawan politik. Dampak lainnya, pasal tersebut akan mengurangi kebebasan berpendapat karena membuat orang takut berpendapat karena khawatir dianggap menodai agama.
PSI berpendapat Pasal 302 ayat 1 RKUHP sudah cukup untuk mengatur masalah penodaan agama. Pasal 302 ayat 1 akan memidana setiap orang di muka umum yang melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; menyatakan kebencian atau permusuhan; atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia. “Ayat 1 ini lebih terukur dan jelas dalam memagari penodaan agama, sehingga tidak rawan diperalat oleh politisi dan tekanan massa,” kata Dea.