STRATEGIC ASSESSMENT. Jakarta. Mahkamah Konstitusi (MK) berkali-kali menolak gugatan presidential threshold atau syarat ambang batas calon presiden di Indonesia. Hingga hari ini setidaknya terdapat 28 putusan MK terhadap pengujian presidential threshold.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyebut MK bukan lagi ‘the guardian of constitution’, melainkan telah berubah menjadi ‘the guardian of oligarchy’. Hal itu disampaikan Yusril setelah baru-baru ini MK menolak gugatan yang diajukan PBB terkait uji materi Pasal 222 UU Pemilu.
Sejauh ini sudah ada sembilan putusan terhadap pengujian Pasal 9 UU Pemilu sebelumnya yakni UU Nomor 42 Tahun 2008 dan 19 putusan terhadap pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya,” demikian bunyi Pasal 222 UU Pemilu.
Para penggugat menilai ketentuan pasal 222 UU Pemilu itu telah menghalangi hak serta kewajiban pemohon untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Adapun dari 19 putusan terhadap UU Pemilu yang digunakan saat ini, 16 di antaranya tidak diterima dan tiga sisanya ditolak oleh MK.
Pengamat Politik dari Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai MK sudah tidak bisa diharapkan mengabulkan gugatan soal presidential threshold di Indonesia.
Ray menilai, sedari awal MK memang tidak serius menangani atau bahkan berpikir untuk memenangkan gugatan ini. Padahal MK sebelumnya sudah menyatakan bahwa Pemilu menjadi satu dari dua produk hukum yang paling banyak digugat sepanjang 2021 oleh masyarakat.
Ray menduga ada kepentingan tertentu yang membuat petinggi MK seolah tidak berpihak pada suara arus bawah. Sebab presidential threshold menurutnya memiliki sejumlah kerisauan yang sudah diprotes oleh banyak orang.
Ia pun mendesak agar presidential threshold dihapus. Pertama, ambang batas presiden yang ditetapkan dinilai tidak relevan dengan pelaksanaan Pemilu serentak. Selain itu, presidential threshold membuat sistem presidensial menjadi tidak sehat.
Kedua, Ray melihat banyak masyarakat yang menjagokan sosok calon presiden di luar partai politik (parpol). Adapun untuk parpol lain, seharusnya mereka memiliki hak konstitusional untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Ketiga, presidential threshold dikhawatirkan akan membuat parpol yang ‘lolos’ sebelumnya semakin superior dan membuat kebijakan baru yang semakin menguntungkan mereka dengan misalnya menaikkan persentase presidential threshold.
Pengamat Politik Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo menilai masih ada harapan MK mengabulkan gugatan warga soal presidential threshold. Namun peluang itu menurutnya sangat tipis.
Senada dengan Ray, Kunto berharap ketetapan presidential threshold dihapus dalam kontestasi politik nantinya. Ia menilai, ambang batas presiden membatasi dan tidak mengakomodir pilihan warga terhadap kriteria pemimpin pilihannya masing-masing. Ia menyoroti bagaimana hasil Pemilu 2019 lalu mencatatkan hanya satu parpol yang memiliki kewenangan bisa mengajukan calon presiden dan wakil calon presiden secara mandiri.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI ini juga menilai presidential threshold membuat partai besar semakin superior sementara parpol kecil menjadi seolah tidak memiliki bargaining power dan bersedia tau terpaksa masuk dalam koalisi. Dengan demikian, Kunto menilai peluang munculnya pertarungan tidak seimbang dalam setiap proses pengajuan nama-nama calon presiden dan wakil calon presiden.
Kunto menilai sudah saatnya presidential threshold ditiadakan agar warga dapat memiliki hak keterwakilan dalam kontestasi politik. Penghapusan kebijakan itu menurutnya bisa membuka peluang munculnya pemimpin bangsa yang tidak harus terbelenggu sistem kepartaian Indonesia yang rigid dan tidak sehat.
Kunto mengingatkan, berdasarkan hasil survei, mayoritas publik memberikan nilai rendah dalam aspek kepercayaan terhadap wakil rakyat maupun parpol di Indonesia. Ia juga khawatir presidential threshold menjadi ladang permainan oligarki yang berselingkuh dengan parpol besar.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Partai Gelora yang menguji Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Mahkamah menilai pokok permohonan yang diajukan petinggi Partai Gelora yakni Muhammad Anis Matta, Mahfuz Sidik, dan Fahri Hamzah tidak beralasan menurut hukum. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu berbunyi: “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.” Sedangkan Pasal 347 ayat 1 UU Pemilu menyatakan: “Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.” Anis Matta dkk mempersoalkan frasa ‘serentak’ dalam norma a quo.
Menurut Mahkamah, keinginan pemohon untuk memisahkan waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dilaksanakan pada hari yang sama tetapi pada tahun yang sama, sama saja mengembalikan model penyelenggaraan Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 yang telah tegas dinilai dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah. “Bahkan, sikap demikian telah Mahkamah tegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 16/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021,” tutur Hakim Anggota Saldi Isra.
“Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan frasa ‘serentak’ sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional,” lanjut dia.
Anis Matta dkk mengajukan gugatan karena menilai norma a quo menurutnya telah dimaknai secara sempit sebagai waktu pemungutan suara Pemilu yang harus dilaksanakan pada hari yang sama untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota DPRD. Jika pada 2024 pemilihan anggota DPR dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, maka konsekuensi hukum yang timbul adalah hasil perolehan suara atau kursi DPR yang digunakan sebagai syarat bagi partai politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu 2024 akan menggunakan atau didasari pada perolehan suara atau kursi DPR yang diperoleh partai politik dari hasil Pemilu terakhir (2019).
Sementara, Anis Matta dkk pada penyelenggaraan Pemilu 2019 belum membentuk partai politik dan mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum publik. Keadaan itu membuat Partai Gelora tidak bisa mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu 2024 mendatang.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Partai Bulan Bintang (PBB) yang diwakili oleh Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor terkait dengan pengujian materi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden alias presidential threshold.
Pasal 222 UU Pemilu menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Mahkamah mengatakan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut mahkamah, permohonan uji materi tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. “Mengadili, menolak permohonan pemohon II [PBB yang diwakili oleh Yusril dan Afriansyah] untuk seluruhnya,” ucap Hakim Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan, Kamis (7/7).
Yusril dan Afriansyah mengajukan uji materi dengan argumentasi yang didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif seperti oligarki dan polarisasi masyarakat akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu. Menurut Mahkamah, argumentasi yang demikian tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah menjelaskan tidak ada jaminan bahwa dengan dihapusnya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik membuat berbagai ekses negatif tidak terjadi lagi.
Aswanto menuturkan pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, menurut Mahkamah, perlu dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial. Tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, tetapi juga dalam hubungannya dengan DPR sehingga akan mendorong efektivitas proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dalam kerangka checks and balances.
Yusril dan Afriansyah sebagai pemohon II mengajukan gugatan karena menilai Pasal 222 UU Pemilu telah menjadikan Pemilu dikontrol oleh oligarki dan penguasa modal, sehingga bukan merupakan hasil kehendak kedaulatan rakyat ataupun pilihan subyektif partai politik. Pemohon II menilai hal itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.
Menurut mereka, Pasal 222 UU Pemilu bukan merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy dan telah mengubah konsep kandidasi calon Presiden dan Wakil Presiden yang ditentukan konstitusi. Hal itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
Mereka menganggap norma a quo telah menutup perubahan aspirasi sebagaimana esensi Pemilu yang periodik dan dipilih langsung oleh rakyat sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Pasal 222 UU Pemilu dinilai petinggi PBB tersebut telah menjadi senjata partai politik besar untuk menghilangkan pesaing sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Dalam perkara nomor: 52/PUU-XX/2022, MK menyatakan pemohon I yakni jajaran DPD yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Aa La Nyalla Mahmud Mattalitti serta Wakil Ketua Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan uji materi.
Mahkamah berpendirian terkait pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik, dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hakim Anggota Manahan MP Sitompul menilai anggapan kerugian konstitusional yang dijelaskan oleh pemohon I tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan pelaksanaan hak serta kewajiban pemohon I.
Hal itu dikarenakan pemberlakuan norma Pasal 222 UU Pemilu sama sekali tidak mengurangi kesempatan putra-putri daerah untuk menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. “Mengadili, satu, menyatakan permohonan pemohon I tidak dapat diterima,” kata Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
Dalam gugatannya, La Nyalla dkk menilai Pasal 222 UU Pemilu telah menghalangi hak serta kewajiban pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi mengajukan gugatan uji materi terhadap pasal syarat pencalonan presiden-wakil presiden atau presidential threshold dalam UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan demikian, PKS menjadi partai pemilik kursi DPR pertama yang mengajukan gugatan pasal tersebut ke MK. Ketua Umum PKS Ahmad Syaikhu mengatakan syarat kepemilikan 20 persen kursi DPR untuk mengusung capres-cawapres terlalu tinggi. Oleh karena itu PKS mengguggatnya dan mengajukan agar presidential threshold menjadi 7-9persen kursi DPR.
Sebelumnya, ada beberapa partai politik yang pernah mengajukan gugatan terhadap UU Pemilu ke MK. Namun, semuanya bukan partai pemilik kursi di DPR. Partai politik di luar DPR yang pernah menggugat pasal dalam UU No. 7 tahun 2017 ke MK antara lain Partai Prima, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Akan tetapi, tidak semuanya menggugat pasal tentang persyaratan calon presiden. Hanya PBB yang menggugat pasal tersebut.
Sementara PSI dan Prima menggugat soal syarat partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Termasuk juga soal parliamentary threshold. Partai Gelora juga pernah mengajukan gugatan pasal presidential threshold dalam UU Pemilu ke MK. Namun, Gelora juga bukan partai pemilik kursi DPR.
Mahkamah Konstitusi (MK) sudah berulangkali menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu, walaupun para Pemohon mengajukan pengujian dengan pasal UUD 45 yang berbeda dan argumentasi konstitusional yang berbeda.
Dalam permohonan kali ini, MK menyatakan permohonan para anggota DPD tidak punya legal standing, maka dinyatakan “tidak dapat diterima”. Partai Bulan Bintang (PBB) punya legal standing tetapi permohonannya ditolak seluruhnya. MK tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai “yurisprudensi” yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 45. Saya juga pernah menggabungkan norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 45 dengan menggunakan tafsir sistematik untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 45.
Tapi MK malah mempreteli ketiga pasal itu satu demi satu untuk mendukung pendapatnya sendiri bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional.
Selain itu MK selalu mengemukakan argumen bahwa norma Pasal 222 itu adalah untuk memperkuat sistem Presidensial. Padahal, “executive heavy” yang ada dalam UUD 45 sebelum amandemen sudah sejak lama ditentang. UUD 45 pasca amandemen justru menciptakan check and balances antar lembaga negara. Tidak ada hubungan korelatif antara presidential threshold dengan “penguatan sistem Presidensial” sebagaimana selama ini didalilkan MK. Politik begitu dinamis, oposisi bisa berubah menjadi partai pemerintah hanya dalam sekejap.
Pasal 222 itu adalah “open legal policy” Presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK. Itu kata MK. Apa betul? Saya berpendapat, meskipun itu open legal policy, MK tetap berwenang untuk menguji apakah open legal policy yang dihasilkan sejalan dengan norma konstitusi atau tidak. Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah open legal policy yang konstutusional.
Dalam pandangan saya MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula, karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang. Dalam fiqih, tokoh sekaliber Imam Syafii (767-820 M) saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan “qaul jadid”atau pendapat baru, dan meninggalkan “qaul qadim” atau pendapat terdahulu karena situasi atau “ratio legis” yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah. MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikririk para akademisi, sehingga terkesan “jumud” dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita.
Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan2 yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan. Calon Presiden dan Wakil Presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR.
Hal yang paling aneh dalam demokrasi kita akan terjadi. Calon Presiden yang maju adalah calon yang didukung oleh parpol berdasarkan treshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya. Padahal dalam lima tahun itu, para pemilih dalam Pemilu sudah berubah, formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah. Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK. MK bukan lagi “the guardian of the constitution” dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy”.
Sejumlah elite politik ramai-ramai mendaftarkan uji materi terkait beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di antaranya ada yang menguji Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden alias presidential threshold.
Beberapa permohonan sudah diputus, dan masih ada yang berproses. Berikut daftar elite politik yang menggugat UU Pemilu untuk Pilpres 2024 ke MK. Partai Bulan Bintang (PBB) dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden alias presidential threshold.
Mereka menganggap mempunyai hak konstitusional untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun, hak tersebut menjadi berkurang akibat berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang menambahkan syarat perolehan suara sebanyak 20 persen.
Dalam pemilihan legislatif tahun 2019, PBB hanya memperoleh suara sebanyak 1.099.849 atau sebesar 0,79 persen dari total suara yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan KPU Nomor: 1316/PL.01.9-Kpt/06/KPU/VIII/2019. Yusril dan Afriansyah menilai Pasal 222 UU Pemilu telah menjadikan Pemilu dikontrol oleh oligarki dan penguasa modal, sehingga bukan merupakan hasil kehendak kedaulatan rakyat ataupun pilihan subjektif partai politik.
Mahkamah menyatakan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut mahkamah, permohonan uji materi tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Merespons penolakan MK, Yusril menuding MK telah menjadi pelindung oligarki dan membahayakan demokrasi Ketua DPD Aa La Nyalla Mahmud Mattalitti serta Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin turut menggugat aturan presidential threshold 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional sebagaimana termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu. Gugatan mereka teregister dengan nomor perkara yang sama dengan PBB yakni: 52/PUU-XX/2022.
Menurut La Nyalla dkk, berlakunya Pasal 222 UU Pemilu telah menghalangi hak serta kewajiban pemohon untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Namun, MK memutuskan tidak menerima gugatan tersebut lantaran pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan uji materi.
Mahkamah berpendirian terkait pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik, dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Partai Gelora yang diwakili oleh Muhammad Anis Matta, Mahfuz Sidik, dan Fahri Hamzah menggugat Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal yang digugat itu mengatur pelaksanaan Pemilu secara serentak.
Menurut Anis Matta dkk, frasa ‘serentak’ dimaknai secara sempit sebagai waktu pemungutan suara Pemilu yang harus dilaksanakan pada hari yang sama untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota DPRD.
Jika pada 2024 pemilihan anggota DPR dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, konsekuensi hukum yang timbul adalah hasil perolehan suara atau kursi DPR yang digunakan sebagai syarat bagi partai politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu 2024 akan menggunakan atau didasari pada perolehan suara atau kursi DPR yang diperoleh partai politik dari hasil Pemilu terakhir (2019).
Sementara, Anis Matta dkk pada penyelenggaraan Pemilu 2019 belum membentuk partai politik dan mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum publik. Hal itu membuat mereka tidak bisa mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu mendatang.
Kedua, PKS ingin memperkuat sistem demokrasi serta peluang calon Presiden dan Wakil Presiden lebih banyak pada masa mendatang. Terakhir, untuk mengurangi polarisasi di tengah masyarakat yang disebabkan dengan dua kandidat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana Pemilu sebelumnya. Adapun PKS mengajukan agar presidential threshold menjadi 7-9 persen kursi DPR.
“Kami tidak ingin beralih dari kutub yang ekstrem di mana PT sangat tinggi 20 persen, lalu berpindah ke kutub ekstrem berikutnya yakni PT 0 persen, karenanya dua-duanya justru akan menghasilkan permasalahan bangsa. Jadi, kami mengambil jalan tengah,” ucap Syaikhu. Permohonan ini belum diperiksa MK.
Partai Ummat melalui Ketua Umum Ridho Rahmadi dan Sekretaris Jenderal A. Muhajir juga menggugat Pasal 222 UU Pemilu. Mereka menunjuk Refly Harun dan Denny Indrayana sebagai kuasa hukum. Dalam permohonannya, Partai Ummat meminta MK membatalkan presidential threshold. Pemohon menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945.
Ridho mendalilkan ketentuan presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Menurut dia, presidential threshold tidak sesuai prinsip kepastian dan keadilan hukum. Selain itu, aturan tersebut telah melanggar hak konstitusional Partai Ummat dalam mengajukan calon Presiden.
“Berlakunya ambang batas dalam pencalonan presiden (presidential threshold) berimplikasi pada pengabaian dan/atau melanggar hak konstitusional Partai Ummat, in casu Pemohon, sebagai partai politik yang memiliki fungsi menyalurkan aspirasi dan/atau pendapat masyarakat dalam mengajukan calon Presiden (right to be a candidate) pada pemilihan umum tahun 2024,” ucap dia. Permohonan yang diajukan Partai Ummat belum diperiksa MK.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono menggugat ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu ke MK.
Gatot menyatakan presidential threshold merugikan karena menghalangi kandidat-kandidat terbaik bangsa untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Ia juga menilai syarat ambang batas pencalonan menimbulkan potensi politik transaksional.
Sementara Ferry berujar ambang batas pencalonan presiden menabrak prinsip perlakuan yang sama terhadap partai politik. Dia berpendapat aturan itu membuat jabatan presiden hanya bisa diakses oleh oligarki. Ferry mengajukan gugatan atas nama personal, bukan Partai Gerindra.
Pada Kamis (24/2), MK menolak gugatan keduanya. Mahkamah menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam mengajukan permohonan a quo. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan pokok permohonan para pemohon tidak dipertimbangkan.
Dalam permohonannya, para pemohon meminta MK menghapus syarat ambang batas yang telah membatasi hak seseorang mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Para pemohon ingin ketentuan presidential threshold diubah menjadi 0 persen dengan harapan agenda Pemilu mendatang bisa lebih berkualitas dan adil.
Namun, pada Kamis, 14 Januari 2021 lalu, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan para pemohon tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai ambang batas presiden dalam Pemilu 2019 tak memberi kerugian secara konstitusional kepada pemohon.
Menurut Mahkamah, pemilih pada pemilihan legislatif 2019 dianggap telah mengetahui bahwa suara mereka akan digunakan untuk menentukan ambang batas pencalonan Presiden. Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang diwakili oleh Ketua Umum Agus Jabo Priyono dan Sekretaris Jenderal Dominggus Oktavianus Tobu Kiik menguji materi Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan: “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.” Dalam gugatannya, partai PRIMA menilai proses verifikasi peserta pemilu terhadap partai politik secara faktual yang diatur dalam Pasal ini tak lagi relevan.
Selain itu, mereka menyoroti perlakuan berbeda atau perlakuan istimewa terhadap partai politik yang lolos parliamentary threshold pada Pemilu 2019. Mereka menilai hal itu mencederai asas equality before the law. Partai di parlemen, menurut mereka, sudah mapan dan mempunyai kursi yang dalam batas-batas tertentu memiliki wewenang kekuasaan. Dalam putusan yang dibacakan kemarin, Kamis (7/7), permohonan tersebut dinilai Mahkamah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Mahkamah menyatakan substansi yang dipersoalkan para pemohon pada hakikatnya sama dengan yang telah diputus Mahkamah dalam putusan MK Nomor: 55/PUU-XVIII/2020, meskipun dengan dasar pengujian yang berbeda serta alasan konstitusional yang digunakan oleh pemohon juga berbeda.
Namun, esensi yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik, baik secara administrasi maupun secara faktual.
“Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 55/PUU-XVIII/2020 mutatis mutandis berlaku pertimbangan hukum permohonan a quo,” terang Hakim Anggota Wahiduddin Adams.
Dalam putusan perkara nomor: 55/PUU-XVIII/2020, MK memaknai Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu menjadi: “Partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, namun tidak diverifikasi secara faktual.”
“Adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual. Hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru.” (Red/berbagai sumber).