STRATEGIC ASSESSMENT. Jakarta, Perang-perang yang dimulai dari aktifitas-aktifitas politisasi agama maka munculnya sekte-sekte/firqoh, khawarij dan lain-lain termasuk munculnya Sunni-Syiah, termasuk brutal dan jahatnya politisasi agama di luar Islam juga terjadi.
Demikian dikemukakan Islah Bahrawi dalam diskusi publik bertema “Politisasi agama, pemicu intoleransi, radikalisme dan terorisme” di Jakarta (7/7/2022)
Menurut Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia ini, jubah-jubah agama yang digunakan untuk kepentingan electoral telah membelah kelas sosial, ordo, agama dll. Akibatnya caci makinya masih ada, mempersekusi secara sosial dan narasi terhadap Jokowi juga belum selesai ini efek jelek politisasi agama, hal ini tidak boleh terjadi lagi di tahun 2024 mendatang.
“Politisasi agama dapat memecah umat beragama baik di Islam dan luar Islam, termasuk sekte Hindu mempersekusi sekte lainnya di Myanmar dan India. Kelompok Hindu di India yang berkenalan dengan politik praktis akhirnya menindas umat Islam. Oleh karena itu, jauhi, lawan dan jangan pilih tokoh dan Parpol yang menunggangi ayat-ayat agama dalam perilaku politiknya, hal ini agar terjaga keutuhan negara ini dan tetap terus eksisnya Pancasila,” tegas Islah Bahrawi.
Sementara itu, Fernando Emas mengatakan, ambisi politisi dan Parpol ingin berkuasa sehingga menyebabkan makmurnya politisasi agama, disisi yang lain mereka lupa tujuan berkuasa.
“Parpol, tokoh politik pada Pilpres dan Pilkada 2024 menghilangkan ambisi berkuasa dengan memblow up politisasi agama, sehingga ketika mereka berkuasa tidak tercipta konflik dan permusuhan,” ujar Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia.
Sedangkan Stanislaus Riyanta berpendapat politik identitas sejak dulu digunakan untuk menggalang massa, namun menjadi brutal sejak 2017 sampai saat ini dengan menggunakan istilah dehumanisasi seperti cebong dan kampret. Politik identitas sudah berlebihan di Indonesia, bahkan residu 2017 masih terjadi saat ini.
“Kelompok teror saat ini bertujuan masuk kekuasaan dengan cara soft melalui infiltrasi ke Parpol, sebaliknya kelompok-kelompok politik yang sebelumnya caranya demokratis malah menggunakan cara-cara teror. Hal ini bukti kegagalan Parpol untuk menciptakan national interest, sehingga melakukan politik identitas dan politisasi agama,” ujar pengamat terorisme ini.
Menurut doktor lulusan Universitas Indonesia ini, Parpol melakukan short cut menggunakan cara-cara kotor politik identitas semakin marak karena tidak ada tindakan hukum dan tidak ada yang terkena sanksi kepada pihak manapun yang menggunakan politik identitas.
“Harus ada aturan yang jelas terkait politik identitas dalam Pemilu 2024, termasuk batasan-batasan yang jelas termasuk diikuti aturan penegakkan hukum,” usulnya (Red)