STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Dunia kini sedang menghadapi krisis di atas krisis. Pandemi covid-19 yang belum sepenuhnya selesai disambut perang Rusia dan Ukraina sehingga menimbulkan krisis energi dan krisis pangan di berbagai belahan penjuru dunia Menteri Keuangan Sri Mulyani Indonesia menilai persoalan ini harus segera diantisipasi. Meskipun Indonesia sejauh ini belum merasakan dampak yang signifikan dibandingkan negara di kawasan Amerika Selatan hingga Afrika.
“Disruption supply harus terus diantisipasi karena ini bukan krisis jangka pendek ini cukup struktural di level global,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Selasa (31/5/2022)
“Indonesia harus mampu mengurangi risiko supply disruption terutama bidang pangan dan energi dengan strategi APBN maupun non APBN,” jelasnya.
Beberapa komoditas yang patut menjadi perhatian adalah kedelai, gandum, minyak goreng dan bawang merah dalam kelompok pangan. Sementara energi yaitu BBM, listrik, dan LPG, gas alam serta batu bara.
“Semua juga memahami bahwa krisis akibat pandemi, kemudian disusul oleh krisis geopolitik. Potensi dampaknya dapat menimbulkan krisis energi, krisis pangan, dan krisis keuangan di berbagai belahan penjuru dunia. Krisis di atas krisis. Seluruh dunia sedang mengalami cobaan yang sungguh teramat berat,” jelasnya.
Pandemi covid-19 belum selesai sepenuhnya. Beberapa negara masih berjuang menghadapi virus yang muncul sejak 2019 tersebut. Belum lagi ada bekas luka yang ditimbulkan oleh pandemi covid, yang tentunya mudah untuk di atasi.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama meletus perang Rusia dan Ukraina. Harga komoditas melonjak drastis dan banyak negara tidak mampu menahan, karena keuangan yang terbatas. Sehingga krisis energi dan pangan tidak terelakkan.
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 oleh IMF terkoreksi ke level 3,6% (IMF WEO, April 2022) akibat konflik geopolitik yang diprediksi akan membawa dampak berkepanjangan pada aktivitas perdagangan dunia,” papar Sri Mulyani.
Inflasi yang kemudian melonjak akibat hal tersebut direspons dengan pengetatan moneter oleh beberapa negara. Amerika Serikat (AS) adalah salah satunya, yang menaikan suku bunga acuan dengan amat agresif. Diikuti oleh negara di kawasan Eropa dan Amerika Selatan. Pasar keuangan global guncang, sehingga mengakibatkan capital outflow dan menghantam nilai tukar serta beban utang.
“Implementasi pengetatan kebijakan moneter, khususnya The Fed, yang lebih cepat juga akan mengakibatkan gejolak pasar keuangan global dan pada akhirnya mendorong peningkatan cost of fund di semua sektor,” jelasnya.
Perekonomian dunia seringkali diramalkan akan jatuh dalam resesi. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan Covid-19 di beberapa negara yang juga disertai perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Meski begitu, kepala ekonomi global di Economist Intelligence Unit, Simon Baptist, melihat bahwa resesi ekonomi belum akan terjadi dalam waktu dekat. Ia menyebut yang akan terjadi justru kenaikan biaya dan pertumbuhan yang lebih lambat.
“Tidak akan ada stagflasi yang tiba-tiba,” katanya dikutip CNBC International, Selasa (31/5/2022).
“Ketika perang di Ukraina dan gangguan pandemi terus mendatangkan malapetaka pada rantai pasokan, stagflasi akan bertahan setidaknya selama 12 bulan ke depan.”
“Harga komoditas akan mulai turun mulai kuartal berikutnya, tetapi akan tetap lebih tinggi secara permanen daripada sebelum perang di Ukraina karena alasan sederhana bahwa pasokan banyak komoditas Rusia akan berkurang secara permanen,” tambahnya.
Pandemi serta perang di Ukraina telah menahan pasokan komoditas dan barang dan mengganggu distribusi yang efisien melalui rantai pasokan global. Ini memaksa naiknya harga barang sehari-hari seperti bahan bakar dan makanan.
“Untuk hampir semua ekonomi Asia, resesi cukup kecil kemungkinannya, jika kita berbicara tentang periode berturut-turut dari PDB negatif,” ujarnya lagi.
Hal serupa juga disampaikan Kepala ekonom AMP Capital Shane Oliver. Oliver mengatakan tidak melihat kemungkinan resesi ekonomi setidaknya sampai selama 18 bulan ke depan.
“Kurva imbal hasil atau kesenjangan antara imbal hasil obligasi jangka panjang dan suku bunga jangka pendek belum secara tegas membalikkan atau memperingatkan resesi dan bahkan jika sekarang rata-rata mengarah ke resesi adalah 18 bulan,” katanya dalam sebuah catatan.
Beberapa bank sentral dunia sendiri diketahui telah menaikan suku bunganya untuk mengendalikan inflasi. Bank sentral AS mengumumkan kenaikan suku bunga setengah poin persentase dan memperingatkan kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Pekan lalu, Reserve Bank of New Zealand, juga menaikkan suku bunga setengah poin persentase menjadi 2%.
Meski begitu, selalu ada risiko pengendalian inflasi akan menyebabkan resesi. Oliver memaparkan bahwa resesi dapat terjadi jika inflasi justru terus cenderung naik meski beberapa langkah telah dilakukan.
“Semakin lama inflasi tetap tinggi, semakin banyak pasar investasi khawatir bahwa bank sentral tidak akan dapat menjinakkannya tanpa membawa resesi. Seperti yang ditunjukkan Ketua Fed (Bank Setral AS) Jerome Powell, membuat inflasi menjadi 2% akan termasuk beberapa rasa sakit,” tambahnya (Red/dari berbagai sumber).