STRATEGIC ASSESSMENT. Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (Hisminu), Arifin Junaidi mengkritik keras draf Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) karena telah menghapus penyebutan jenjang madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia.
“Alih-alih memperkuat integrasi sekolah dan madrasah, draf RUU Sisdiknas malah menghapus penyebutan madrasah,” kata Arifin dalam keterangannya yang sudah dibenarkan oleh anggota Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) Doni Koesoema, dikutip Senin (28/3).
Arifin menegaskan bahwa madrasah merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan nasional. Namun, peranan madrasah di tengah masyarakat selama ini terabaikan.
Ia menilai UU Sisdiknas pada 2003 yang berlaku saat ini sudah memperkuat peranan madrasah dalam satu tarikan nafas dengan sekolah. “Meskipun integrasi sekolah dan madrasah pada praktiknya kurang bermakna karena dipasung oleh UU Pemda,” ujarnya.
Madrasah telah diatur sebagai salah satu bentuk Pendidikan Dasar dalam UU Sisdiknas tahun 2003 di Pasal 17 ayat (2). Pasal itu berbunyi “Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat.
Sementara itu, dalam draf RUU Sisdiknas sama sekali tak mencantumkan diksi madrasah. Draf RUU Sisdiknas hanya mengatur tentang Pendidikan Keagamaan dalam pasal 32. Namun, pasal itu sama sekali tak menyebut kata madrasah.
Pasal 32 Draf RUU Sisdiknas itu berbunyi “Pendidikan Keagamaan merupakan Pendidikan yang mempersiapkan pelajar untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi landasan untuk menjadi ahli ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan ajaran agama”.
Di sisi lain, Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) meminta agar DPR tidak memasukkan RUU Sisdiknas ke dalam Prolegnas Prioritas 2022. Mereka juga merekomendasikan agar Kemendikbudristek membentuk Panitia Kerja Nasional RUU Sisdiknas yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendesain Peta Jalan Pendidikan Nasional, Naskah Akademik dan draf RUU Sisdiknas.
“Uji Publik Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang dilakukan oleh Kemendikbudristek mengejutkan publik karena dilakukan dengan tergesa dan pelibatan publik yang minim,” kata anggota Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) Doni Koesoema.
Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas RUU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dengan Komisi X DPRI RI, di Jakarta, Kamis, 24 Maret 2022.
APPI meminta agar DPR tidak memasukkan RUU Sisdiknas ke dalam Prolegnas Prioritas 2022 dan merekomendasikan agar Kemendikbudristek membentuk Panitia Kerja Nasional RUU Sisdiknas yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendesain peta jalan pendidikan nasional, naskah akademik, dan draf RUU Sisdiknas.
APPI berpendapat bahwa pembaruan UU Sisdiknas diperlukan, tetapi pembaruan ini memerlukan kajian yang mendalam, naskah akademik yang komprehensif, dan keterlibatan publik yang luas secara bermakna.
“RUU Sisdiknas sebaiknya dirancang secara visioner, mengembangkan paradigma-paradigma besar pendidikan yang inovatif dan futuristik. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang komprehensif dalam menata berbagai ekosistem pendidikan dalam suatu Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana amanat dalam konstitusi,” ujar Dewan Pengarah APPI, Doni Koesoema lewat keterangannya, Kamis, 24 Maret 2022.
Aliansi ini terdiri dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Persatuan Tamansiswa, serta Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU).
Menurut Doni, draf RUU Sisdiknas yang diajukan Kemendikbudristek lebih merupakan sistem pembelajaran dan persekolahan daripada Sistem Pendidikan Nasional.
“Draf RUU Sisdiknas juga cenderung mensimplifikasi persoalan pendidikan yang kompleks, seperti tata kelola guru yang saat ini terfragmentasi di dalam institusi yang berbeda, dilaksanakan oleh aktor yang berbeda-beda, dan dengan peraturan yang berbeda-beda pula, bahkan bertentangan satu sama lain. Ini mengakibatkan peranan dan eksistensi guru semakin terabaikan,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi.
Uji publik RUU Sisdiknas yang dilakukan oleh Kemendikbudristek dinilai mengejutkan publik karena dilakukan dengan tergesa dan pelibatan publik yang minim.
“Pembuatan UU yang baik mempersyaratkan adanya partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) dalam seluruh tahapan, mulai perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Faktnya, hal ini tidak dilakukan dalam perencanaan RUU Sisdiknas,” ujar Ketua Umum Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia, David Tjandra.
APPI juga mengusulkan, Kemdikbudristek perlu mengintegrasikan 23 UU yang terkait pendidikan dan pembahasannya melibatkan banyak pihak. APPI juga meminta Kemendikbudristek membuka ke publik naskah akademik dan draf RUU Sisdiknas.
“UU yang terkait dengan pendidikan bukan hanya UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, dan UU Sistem Pendidikan Nasional, tetapi seluruhnya ada 23 UU yang harus diintegrasikan karena saling terkait satu lain. Kalau semua itu tidak dipilah dan diintegrasikan, maka UU yang baru nanti malah akan menimbulkan kompleksitas perundangan yang tidak diinginkan,” ujar Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Alpha Amirrachman.
Sebelumnya, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Sisdiknas masih di tahap awal perencanaan dan tidak dilakukan tergesa-gesa sebab akan ada pelibatan publik yang lebih luas lagi.
“Kami sangat sadar terkait pelibatan publik, namun harus dilaksanakan secara bermakna, bukan sekadar formalitas. Artinya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan kajian naskah akademik tentang RUU Sisdiknas,” kata Anindito dalam Dialog RUU Sisdiknas yang diselenggarakan Biro Kerja sama dan Humas Kemendikbudristek di Jakarta, Jumat 11 Maret 2022.
Ia lebih lanjut mengatakan uji publik terbatas sudah dilakukan beberapa kali untuk meminta masukan dari berbagai perwakilan organisasi pemangku kepentingan pendidikan maupun individu untuk menyempurnakan draf naskah akademik dan RUU.
Anindito mengatakan setelah serangkaian uji publik terbatas pada tahap pertama, saat ini tim sedang memproses masukan dari puluhan organisasi dan individu karena memang dibutuhkan waktu.
“Ada masukan antara satu pihak dengan pihak lain belum cocok. Jadi, tim masih membahas dan mencermati semua masukan untuk menghasilkan draf hasil revisi. Ini masih draf pertama untuk menghasilkan draf kedua. Tidak ada ketergesa-gesaan karena setelah ini akan ada dialog publik selanjutnya,” katanya.
Materi Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang sedang disiapkan Kemendikbudristek nantinya akan menggabungkan tiga undang-undang terkait pendidikan, sekaligus menghapus UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Lebih lanjut Anindito mengatakan RUU Sisdiknas nantinya akan memangkas aturan-aturan tumpang tindih dan ketentuan-ketentuan yang dirasa tidak perlu diikat dalam undang-undang karena terlalu spesifik dan teknis. “Cukup diatur dalam produk hukum turunannya, seperti peraturan pemerintah,” katanya.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tengah merancang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU Sisdiknas bakal mengintegrasikan tiga undang-undang, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Tinggi. Namun, RUU Sisdiknas tak menyebut madrasah. Hal ini dinilai berpotensi melemahkan pendidikan di madrasah.
“Alih-alih memperkuat integrasi sekolah dan madrasah, draf RUU Sisdiknas malah menghapus penyebutan madrasah,” kata Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU), Arifin Junaidi, dalam RDP Komisi X DPR RI, Kamis, 24 Maret 2022.
Arifin menegaskan madrasah merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan nasional. Dia heran peran madrasah malah terabaikan. Dia menilai keberadaan madrasah sudah lebih baik lewat UU Sisdiknas Tahun 2003. Arifin heran kekuatan tersebut malah dicabut lewat RUU Sisdiknas. “UU Sisdiknas 2003 sudah memperkuat peranan madrasah dalam satu tarikan nafas dengan sekolah, meskipun integrasi sekolah dan madrasah pada praktiknya kurang bermakna karena dipasung oleh UU Pemda,” tutur dia.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron menyoroti maraknya orang berpendidikan mulai dari pejabat daerah hingga petinggi pemerintahan pusat yang melakukan tindak pidana korupsi. Ghufron menyebut salah satu penyebabnya, karena pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada uang.
“Nah ini yang menurut saya, selain penyakit uang-uang itu, karena kita selama ini pendidikannya orientasinya memang uang juga,” kata Nurul Ghufron saat menjadi narasumber dalam Talkshow bertema ‘Mencegah Kriminal Menguasai Negeri’ yang ditayangkan di akun YouTube PPATK, Selasa (22/3/2022).
Menurut Ghufron, di dunia pendidikan ada yang lebih penting daripada uang, yaitu kemanusiaan. Di mana, pendidikan seharusnya dapat dijadikan dasar manusia untuk bermanfaat bagi orang banyak. Ghufron menilai para pejabat negara melakukan korupsi karena kurang nilai-nilai kemanusiaannya.
“Korup itu karena hidupnya untuk memanfaatkan orang lain, punya jabatan, jabatannya digunakan untuk mendapat keuntungan dirinya, punya kuasa pengadaan barang dan jasa, yang mestinya pro rakyat yang seharusnya efisien dan efektif, itu dijual karena untuk keuntungan,” bebernya.
Ghufron menekankan pentingnya dasar-dasar pendidikan yang berasaskan pada nilai kemanusiaan sehingga, ke depannya, tidak ada lagi pendidikan yang berorientasi hanya untuk menghasilkan materi atau uang.
“Kalau pendidikan dasar orientasinya uang, maka semua tujuan-tujuan pendidikan itu, mohon maaf saya dunia hukum, didirikan fakultas hukum yang harusnya dedikasi pada keadilan, tapi enggak, mencari uang dari ketidakadilan,” beber Ghufron..
“Kesehatan, dokter, harapannya dokter itu cinta pada sehatnya orang, bukan berbisinis pada sakitnya orang. Begitu pun ilmu politik. Sebenarnya ilmu politik, ilmu yang sangat mulia, tapi kan sekarang ini kan bagaimana meraih kekuasaan,” imbuhnya.
Sebenarnya, kata Ghufron, tidak ada yang salah pada tujuan pendidikan.
Hanya saja, pendidikan itu tetap harus dibalut atau ditambahkan untuk kepentingan orang banyak. Oleh karenanya, KPK saat ini fokus penanaman nilai-nilai antikorupsi di dunia pendidikan.
“Nah ini yang menurut saya, kami masuk bukan hanya dari hulunya, cegah, cegah tata kelola, tapi kami masuk ke dalam dunia pendidikan agar mari rakyat Indonesia sadar bahwa kemanusiaan itu adalah untuk mendedikasikan dirinya untuk kepentingan orang lain orang banyak,” tekannya.
Salah seorang ibu rumah tangga di Cilangkap, Jakarta Timur menyatakan, jika diksi atau keberadaan sistem pendidikan melalui Madrasah dihapus dalam RUU Sisdiknas, maka wajah dunia pendidikan di Indonesia menjadi tidak jelas, bersifat sekuler dan berorientasi kepada uang. “Hal ini tidak baik untuk pembentukan karakter generasi muda Indonesia ke depan yang akan menghadapi tantangan bercirikan nano hybrid tersebut,” ujarnya. (Red/dari berbagai sumber).