STRATEGIC ASSESSMENT. Setelah sebelumnya langka di pasaran, sejak pemerintah mencabut kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan pada 16 Maret 2022, minyak goreng tiba-tiba hadir di pasaran namun dengan harga jual yang meroket. Per Senin (21/3) minyak goreng kemasan per liternya seharga Rp21.400, setelah seminggu sebelumnya per liter Rp16.300. Bahkan minyak goreng curah yang seharusnya disubsidi dan dijual seharga Rp14.000 juga mengalami kenaikan sehingga dijual di harga Rp17.700 per liter.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, petani sawit tidak sepenuhnya menikmati naiknya harga minyak goreng ini.
“Petani sawit juga konsumen minyak goreng. Kenaikan minyak goreng tetap menjadi beban bagi petani sawit,” tegas Henry dari Medan hari ini (23/03).
Henry menjelaskan, memang jika mengacu pada nilai tukar petani (NTP) Februari 2022 subsektor tanaman perkebunan tren positif masih terus berlanjut. Ada kenaikan sebesar 0,90 persen dibanding bulan sebelumnya. Nilainya pun berada di 133 hampir 1,5 kali lipat dari batas impas di 100. Kenaikan ini ditopang oleh naiknya harga tandan buah segar (TBS) sawit.
“Laporan dari petani SPI di Riau TBS minimal di Rp3.550 per kg dan maksimal di Rp3.750 per kg, bahkan di Kabupaten Tebo, Jambi harga TBS tertinggi mencapai Rp3.800 per kg,” terangnya.
Meski demikian Henry melanjutkan, kenaikan harga TBS juga diikuti dengan kenaikan harga saprodi.
“Harga pupuk ikut naik, seperti urea Rp400.000 per 50 kg karung; NPK Rp750.000; dan KCL Rp630.000,” katanya.
“Artinya ketika terjadi kenaikan harga jual sawit, pada saat yang sama Biaya Produksi dan Penambahan biaya modal (BPPBM) dan biaya kebutuhan rumah tangga ikut naik,” sambungnya.
Henry mengemukakan, meroketnya harga minyak goreng ini bukanlah yang pertama, tapi sudah pernah terjadi pada tahun 2008, ketika krisis pangan dunia terjadi akibat dari penggunaan bahan pangan untuk biofuel termasuk kelapa sawit.
“Jadi pemerintah selama ini berpedoman pada tata niaga minyak sawit mentah (CPO) — yang jadi bahan baku minyak goreng — berdasarkan pasar global. Tata niaga ini mendikte jumlah, jenis produksi (B20, B30, dll), sampai harga dan pasarnya. Akibatnya ketika harga CPO naik, harga minyak goreng berbasis sawit secara otomatis ikut naik. Dengan tidak berdaulatnya kita atas komoditas tersebut, maka gejolak yang terjadi di tingkat global akan sangat berpengaruh ke dalam negeri,” paparnya.
Henry meneruskan, di dalam negeri sendiri, tidak ada kebijakan yang berpihak kepada perkebunan sawit rakyat.
“Hingga saat ini petani sawit diperlakukan agar tidak menguasai setiap aspek sawit mulai dari hulu, pengolahan pasca panen yang mencakup pabrik kelapa sawit, penyulingan — termasuk produksi minyak goreng — sampai pemasaran dan distribusinya,” tegasnya.
Solusi
Henry menyampaikan, SPI menilai kebijakan pangan dan pertanian nasional harus berdasarkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti pemenuhan pangan melalui produksi lokal, mendorong produk pertanian nasional, serta mendorong pendirian dan penguataan kelembagaan ekonomi petani, yakni koperasi bukan korporasi. Melalui kedaulatan pangan, kebijakan pertanian Indonesia akan menempatkan kepentingan dan nasib petani, selaku produsen pangan, di atas kepentingan korporasi
maupun tuntutan pasar.
“Distribusikan tanah-tanah yang dikuasai, dimonopoli oleh korporasi menjadi milik koperasi melalui reforma agraria sejati dan penerapan pola pertanian yang tidak monokultur, kebijakan variasi sawit dan pangan,” katanya.
“Kebun-kebun sawit yang dikuasai oleh korporasi-korporasi itu harus dijadikan objek reforma agraria. Perkebunan sawit yang dikuasai korporasi tidak mendorong pembangunan di daerah dan rakyat di daerah, merusak hutan dan lingkungan hidup bahkan infrastruktur yang ada,” tegasnya.
Henry menerangkan, khusus untuk kasus naiknya harga minyak goreng ini, SPI menilai pemerintah harus segera merumuskan kebijakan agar tidak semuanya sawit diekspor. Pemerintah harus mengalokasikan produksi sawit untuk kebutuhan di dalam negeri. Pemerintah juga bisa mendorong dan membantu koperasi-koperasi petani untuk mampu membangun pabrik minyak goreng skala lokal. Tentunya pemerintah juga membantu proses distribusi dan pemasarannya juga.
“Koperasi perkebunan sawit rakyat, bukan korporasi, harus diperkuat agar menguasai hulu hingga hilir. Korporasi harus dibatasi. Produksi minyak goreng sangat berbahaya jika bersifat monopoli atau oligopoli,” tegasnya.
“Fungsi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) yang dibentuk melalui PP No. 24 Tahun 2015 untuk membangkitkan perkebunan sawit rakyat juga harus dikembaikan sesuai fitrahnya karena selama ini diduga kuat hanya menguntungkan kelompok tertentu dalam indsutri kelapa sawit,” sambungnya.
Henry menambahkan, minyak goreng harus kembali menjadi produksi rakyat. Sawitnya dijual ke pabrik minyak goreng lokal dengan harga yang layak, minyak gorengnya dijual ke masyarakat lokal, hingga nasional dengan harga yang tidak memberatkan konsumen.
“Idealnya sih seperti ini, kalo serius, insya Allah ini bisa kita lakukan, dan SPI siap bekerjasama dengan pemerintah untuk mewujudkannya melalui koperasi-koperasi petani SPI yang sudah tersebar di nusantara,” tambahnya.
“Jangan lupa juga untuk menghidupkan kembali industri minyak goreng selain sawit berdasarkan komoditas yang dikuasai rakyat seperti kelapa, dan sebagainya,” tutupnya (Red).